banner 728x90

Kasus 14 Siswa Dengan HIV, KPAI Gelar Rakor Bersama Walikota Solo

Mearindo.com – Kasus 14 siswa dengan HIV di Solo yang ditolak sejumlah orangtua siswa bersekolah di sekolah formal serta kasus siswa membully guru di salah satu SMK di Jogjakarta menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Terkait kedua kasus tersebut, Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti, melakukan pengawasan langsung ke Solo dan Jogjakarta pada 26 – 28 Februari 2019.

Pada Selasa, 26/2/2019, Retno melakukan pengawasan ke rumah singgah Lentera di mana ke-14 anak tersebut bertempat tinggal dalam setahun terakhir ini di lokasi yang sekarang ditempati.

Sebelumnya, mereka (Lentera) mengalami 4 (empat) kali pindah rumah karena penolakan warga sekitar. Bahkan, ada satu rumah kontrakan yang sudah di bayar, tetapi belum pernah ditempati karena sudah terlanjur di tolak warga sekitarnya. Rumah yang saat ini ditempati, tanahnya berstatus hak guna pakai atas bantuan Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI) dan Pemerintah Kota Solo.

“Pihak Lentera mengakui bahwa selama ini perhatian, dukungan dan bantuan Kemensos maupun Pemerintah Kota sangat besar terhadap anak-anak dengan HIV ini. Ada bantuan biaya makan sebesar Rp 10.000 per anak/hari. Sementara dukungan kesehatan berupa biaya kontrol dan obat ke Rumah Sakit Daerah (RSU) ditanggung Pemerintah Kota Solo,” urai Retno.

Lentera adalah Lemba Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini merawat, mengasuh dan membesarkan anak-anak dengan HIV. Anak-anak tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada satu orang yang berasal dari Timika, Papua. Lentera bersedia merawat anak-anak dengan HIV, syaratnya tidak ada keluarga anak tersebut yang tidak bersedia atau tidak mampu mengasuh anak-anak yang terlahir dengan HIV tersebut.

KPAI bertemu para pengasuh dan menanyakan kondisi anak-anak pasca kasus penolakan sejumlah orangtua di sekolah tempat mereka menuntut ilmu selama ini. Penolakan terjadi setelah ada kebijakan regrouping sekolah-sekolah SD dengan alasan kekeruangan murid.

“Alhamdulillah kondisi psikologis anak-anak tidak ada masalah, karena penolakan semacam ini ternyata sudah beberapa kali terjadi, sehingga anak-anak tersebut lebih kuat mentalnya dalam menghadapi penolakan tersebut”, ungkap Pugar, pimpinan Lentera.

Selanjutnya KPAI menggelar rapat koordinasi dengan Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo, berserta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beserta P2TP2A.

KPAI ingin memastikan bahwa ke-14 siswa dengan HIV tetap dipenuhi hak atas pendidikannya di sekolah formal, bahkan PKBM apalagi homeschooling. Karena selama beberapa tahun ini, sekolah lama anak-anak tersebut bersedia menerima ke-14 anak ini, masalah baru timbul ketika ada kebijakan regrouping sekolah.

Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan berharap terkait pemenuhan hak atas kesehatan anak-anak dengan HIV, KPAI juga ingin memastikan bahwa anak-anak tersebut mendapatkan layanan kontrol rutin dan obat-obatan secara gratis atau ditanggung oleh Pemkot Solo. KPAI juga melihat langsung kondisi anak-anak yang dikabarkan banyak luka di beberapa bagian tubuh karena kurang terawatt sebelum diserahkan ke Lentera.

Begitupun rehabilitasi psikologis anak-anak yang berpeluang mengalami tekanan psikologis terkait kasus penolakan belajar di sekolah formal yang dialaminya. Anak-anak tersebut diharapkan dapat diasessmen oleh Dinas PPA dan P2TP2A.

KPAI juga mengundang Kemdikbud dalam rapat koordinasi tersebut mengingat kasus anak-anak dengan HIV kerap kali kehilangan hak atas pendidikan di sekolah formal karena penolakan orangtua siswa lainnya.

Menurut Retno Listyarti, hal tersebut penting di antisipasi dengan pembuatan regulasi sebagai payung hukum yang memberikan perlindungan khusus terhadap anak-anak dengan HIV, mengingat kasus serupa kerap terjadi, dimana pada tahun 2011 terjadi penolakan seorang siswi di salah satu SMA swasta di DKI Jakarta; tahun 2012 terjadi di salah satu Taman Kanak-kanak (TK) di kabupaten Bogor, Jawa Barat; dan tahun 2018 di Nainggolan, Samosir, Sumatera Utara.

“Setelah rapat, KPAI akan melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta untuk melakukan pengawasan langsung ke salah satu SMKN di Jogja yang satu siswanya berani menantang gurunya, mirip seperti kasus yang terjadi di salah satu SMK swasta di Kendal, Salah satu SMPN di Jakarta Utara.” Pungkas Komisioner KPAI bidang Pendidikan. (Retno/Red)

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan