Didesa Ini Uang Rupiah Tak Lak Berlaku Lagi. Pasar Pojok – Kawedanan Kembali Gunakan Uang Benggol
Ekonomi – Profil – Budaya
Mearindo.com – Uang secara ilmu ekonomi dideviniskan sebagai suatu alat pertukaran barang dan jasa yang keberadaanya diterima secara umum, atau disebut satuan yang bernilai untuk alat pembayaran yang sah. Sedangkan Rupiah adalah satuan nilai uang yang ditetapkan oleh negara Indonesia dan mata uangnya sendiripun dicetak secara resmi oleh Bank Indonseia.
Namun keberadaan uang rupiah yang sah ini tidak berlaku lagi khusus bagi masyarakat yang hendak bertransaksi di pasar yang berada di Desa Pojok, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan, tepatnya dibawah gunung Lawu yang menjadi bagian Propinsi Jawa Timur.
Tidak berlakunya uang rupiah disini bukanlah bentuk makar melainkan pasar yang dimaksud adalah Pasar tradisional yang hanya ada pada hari pasaran Minggu Pon atau disebut PAGUPON (Pasar Minggu Pon).
Keunikan pasar tradisional satu ini pasalnya pembayaran pakai uang menyerupai benggol itu yang pembuatan uang simbul benggol juga kreasi asli desa Pojok. Sehingga suasa PAGUPON ini seperti pasar dijaman penjajahan Belanda atau Londo.
Pasar yang ada disetiap pasaran hari Minggu Pon ini diramaikan pedagang yang menjajakan berbagai makanan tradisional jaman belanda atau dikenal “Panganan Ndeso” seperti Getuk, Jenang Gendul, Tepo, dan berbagai kuliner yang ada di era penjajahan Belanda. Selain itu berbagai barang gerabah alat rumah tangga yang terbuat dari tanah liat dan kayu juga diperdagangkan di Pasar Minggu Pon.
Uang Benggol. Keunikan Pasar Minggu Pon yang digelar di halaman BUMDes Desa Pojok ini tidak memberlakukan bayar dengan uang rupiah. Akan tetapi jual beli dipasar tradisional ini menggunakan simbul Uang Benggol. Yakni barang dibentuk menyerupai uang yang terbuat dari tanah liat berbentuk lingkaran dengan lubang ditengahnya. Sehingga pengunjung yang hendak membeli dagangan diharuskan menukarkan uang rupiah dengan Uang Benggol kepada panitia yang sudah siap didepan PAGUPON Tradisional.
Vidio PAGUPON LONDO, Pasar Minggu Pon seperti jaman penjajahan Belanda
PAGUPON Tradisional yang ada di desa Pojok selain para pengunjung dapat menikmati jajanan tradisional jaman belanda selain disambut warga yang mengenakan pakaian adat jawa tradisional juga dihibur seni Karawitan, sebuah seni musik tradisional yang lebih dikenal Seni Gambyong. Sehingga menambah suasana pedesaan sangat dirasakan ditengah – tengah PAGUPON Tradisional.
Ditengah perkembangan era perdagangan modern yang melanda negeri Indonesia membawa dampak hilangnya sistem perdagangan tradisional, dimana pasar tradisional kental dengan terawatnya kerukunan masyarakat, pembeli dan penjual dapat berinteraksi dengan ramah. Hal ini disikapi Pemdes Pojok Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan dengan meluncurkan PAGUPON (Pasar Minggu Pon), 09 Desember 2018.
Sementara itu Susilowati selaku Ketua PKK Desa Pojok yang membidangi lahirnya PAGUPON Tradisional mengatakan “Pagupon merupakan salah satu cara untuk memberdayakan masyarakat agar bisa membuat produk, menginovasi, seta memasarkan Pagupon sebagai sarana untuk wisata keluarga khususnya kuliner yang unik, tradisional, murah, ramah lingkungan/di upaya kan berbungkus daun krn mudah ada di sekitar desa“, ujar SUSI
SUSI juga mengungkapkan bahwa selain dimaksudkan menumbuhkan daya minat berbelanja pada tetangga sendiri hingga menjaga perputaran ekonomi lingkup desa, PAGUPON juga diharapkan menjadi magnet yang mampu menarik daya minat masyarakat secara luas untuk ikut merasakan nuasan Pasar Tradisional di Desa Pojok yang dikonsep dengan PAGUPON Tradisional.
Sementara itu Cahaya Wijaya selaku Camat Kawedanan merespon adanya pasar tradisional yang bersimulasi seperti keadaan dijaman nenek moyang itu memberikan apresiasi selain mengingatkan tentang sejarah kearifan budaya Indonesia, pasar tradisional lokal juga diharapkan membangun ekonomi kerakyatan menjadi benteng pengaruh perdagangan moderat.
“Gagasan pasar minggu pon dari pojok bagus. Mengadakan acara tingkat local mengumpulkan usaha kecil di desa. Meramaikan dan menfhidupkan embrio ekonomi pasar krempyeng. Mengerakan semuanya bahkan lintaas wilayah desa, ikut, tau dan mengerti. Konsep gagasan ide yg bagus bagi kami. Perputaran uang lokal kegiatan positif berkumpul masa olahraga senam, dibarengi manfaat,” terang Camat Kawedanan
Tentang sejarah Uang Benggol digunakan untuk jual beli menggantikan dagang dengan sistem barter (tukar barang) yakni setelah terjadinya perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, Perang Paderi (1821- 1837) di Sumatra Barat, dan Perang Aceh (1873-1903) yang mengakibatkan Belanda mengalami kekosongan pada Kas Keuangan. Akibatnya Belanda menerapkan sistem jual beli pada rakyat Nusantara dengan uang logam berbentuk lingkaran berlubang.
Berbagai macam mata-uang baik emas, perak, dan tembaga juga dibuat pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau Wilhelmina.
Pada masa itu satuan mata uang yang beredar adalah gulden dan sen, nilai-nilainya dikenal dengan istilah : Suku (50 Sen) – Tali (25 Sen) – Ketip atau Picis (10 Sen) – Kelip (5 Sen) – Benggol atau Gobang (2 Sen) dan uang Ringgit (2 Gulden/Rupiah). (Yun/Red)
No Responses