banner 728x90

Gus Imam “Pengambilalihan Gaza Bentuk Penjajahan Baru”

MAGETAN – Pernyataan tegas Ketua Persaudaraan Ummat Islam untuk Palestina (PUIP) Kabupaten Magetan, Gus Imam, menjadi sorotan di tengah kabar rencana Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang ingin mengambil alih Gaza dan menempatkannya di bawah kendali Amerika Serikat. Rencana tersebut disebut sebagai bentuk penjajahan baru yang mengancam hak asasi rakyat Palestina dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan internasional.

Dalam pernyataannya, Gus Imam menegaskan bahwa intervensi Amerika Serikat di Gaza bukan hanya persoalan geopolitik, tetapi juga persoalan kemanusiaan yang menyangkut hak hidup dan kedaulatan bangsa Palestina. “Ini jelas tidak bisa kita terima. Gaza adalah tanah Palestina yang sah, dan rakyatnya punya hak untuk hidup merdeka tanpa campur tangan asing. Kalau sampai rencana ini terlaksana, maka penderitaan rakyat Gaza akan semakin parah, hak-hak dasar mereka akan semakin diinjak-injak,” ujar Gus Imam.

Ia menekankan bahwa Indonesia, sebagai bangsa yang pernah dijajah, memiliki tanggung jawab moral untuk menolak segala bentuk penjajahan, termasuk upaya pengambilalihan Gaza oleh pihak asing. “Kita ini bangsa yang pernah merasakan pahitnya penjajahan. Harusnya kita paling paham bagaimana rasanya hak kita direbut dan ditentukan oleh pihak asing. Jangan sampai kita justru tutup mata ketika ada bangsa lain mengalami hal yang sama,” katanya.

Menurut Gus Imam, rencana tersebut bukan hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Gaza, tetapi juga akan menjadi preseden buruk bagi dunia internasional. Jika intervensi semacam ini dibiarkan, maka negara-negara kuat akan semakin leluasa menguasai wilayah lain dengan dalih stabilitas atau kepentingan strategis. “PBB jangan hanya diam dan menonton. Mereka punya kewajiban untuk mencegah rencana ini. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan jadi preseden buruk bagi dunia. Nanti setiap negara kuat bisa seenaknya mengambil wilayah bangsa lain demi kepentingannya sendiri,” imbuhnya.

Ia juga mengingatkan bahwa dukungan terhadap Palestina bukan hanya soal solidaritas keagamaan, tetapi juga soal keadilan global yang harus diperjuangkan oleh seluruh bangsa. “Kemerdekaan bukan sekadar hak istimewa yang hanya diberikan kepada negara-negara kuat, tetapi hak universal yang harus diperjuangkan oleh semua bangsa. Jika dunia masih memiliki nurani, maka upaya untuk merebut Gaza dari Palestina harus dihadapi dengan perlawanan, baik melalui diplomasi maupun gerakan solidaritas yang lebih masif,” ujarnya.

Gus Imam pun mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah konkret di forum internasional dalam membela hak-hak Palestina. Ia menilai bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi suara yang samar di tengah pertemuan-pertemuan global, tetapi harus menjadi negara yang aktif menyuarakan isu Palestina dengan lantang. “Kita ini negara besar, punya sejarah panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa lain. Seharusnya kita bisa lebih lantang dalam membela Palestina, bukan hanya dengan pernyataan, tapi juga dengan langkah nyata,” ujarnya.

Selain diplomasi pemerintah, Gus Imam juga mengajak masyarakat Indonesia untuk ikut berperan aktif dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Ia menegaskan bahwa gerakan solidaritas tidak boleh bersifat musiman, hanya muncul saat ada pemberitaan besar, lalu menghilang begitu saja. “Jangan cuma marah sebentar, habis itu lupa. Kalau kita benar-benar peduli, kita harus konsisten mendukung mereka. Bisa lewat doa, aksi kemanusiaan, boikot produk yang mendukung pendudukan, atau menyuarakan perjuangan mereka di berbagai kesempatan,” tegasnya.

Menurutnya, masyarakat dunia perlu memahami bahwa perjuangan rakyat Palestina bukan sekadar konflik politik, melainkan juga perjuangan bertahan hidup di tengah penindasan berkepanjangan. “Di Gaza, listrik terbatas, air bersih sulit didapat, dan setiap hari warga hidup dalam ketakutan karena serangan militer. Kita tidak bisa hanya bersimpati tanpa melakukan sesuatu yang nyata,” ujarnya.

Gus Imam juga mengkritik standar ganda yang sering diterapkan oleh negara-negara Barat dalam melihat konflik Palestina. Ia menilai bahwa selama ini, kebijakan luar negeri negara-negara besar lebih berpihak pada kepentingan politik mereka sendiri daripada menegakkan keadilan yang seharusnya bersifat universal. “Ketika negara-negara lain berjuang untuk kedaulatan, mereka didukung penuh. Tapi saat Palestina berjuang untuk merdeka, justru mereka dituduh sebagai ancaman. Ini standar ganda yang tidak bisa diterima,” katanya.

Di akhir pernyataannya, Gus Imam menegaskan bahwa harapan untuk kemerdekaan Palestina tidak akan pernah padam selama masih ada orang-orang yang berani bersuara. “Selama masih ada orang yang berani bersuara, selama masih ada hati yang peduli, harapan itu akan selalu ada. Gaza mungkin masih dalam penderitaan, tapi kita tidak boleh berhenti melawan. Jika kita percaya bahwa keadilan harus ditegakkan, maka kita harus memastikan bahwa sinar kemerdekaan Palestina tidak akan pernah padam,” tutupnya. (red)

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan