Suara Takbir Menggema di Bumi Surabaya
“Suara Takbir Menggema di Bumi Surabaya”
oleh : Gus Imam (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
Surabaya, Cerpen, Mearindo.com, 10 November 1945. Pagi itu kota Surabaya diselimuti asap tebal Bukan asap dari cuaca yang mendung, melainkan asap hitam dari bangunan yang terbakar, pecahan tembakan, dan dentuman senjata yang memekakkan telinga. Jalan-jalan di kota ini menjadi saksi perjuangan tanpa batas, di mana setiap sudutnya penuh dengan tekad para pejuang. Di tengah hiruk-pikuk suara tembakan dan ledakan, terdengar suara takbir yang lantang, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Di tengah kerumunan pasukan kemerdekaan, seorang pemuda bernama Jafar berdiri kokoh. Pemuda berusia 17 tahun ini adalah salah satu santri dari pesantren di sekitar Surabaya. Wajahnya muda, tetapi sorot matanya penuh keberanian. Di tangan kanannya tergenggam erat bendera merah putih yang ia kibarkan tinggi-tinggi sebagai simbol kemerdekaan, sebagai pengingat bahwa tanah ini telah merdeka dan tidak akan kembali jatuh ke tangan penjajah. Namun Jafar tidak sendirian. Di sekelilingnya berdiri ratusan santri dan pemuda yang datang dari berbagai pelosok untuk satu tujuan: mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pagi itu, mereka bukan sekadar berjuang untuk melawan penjajah, tetapi juga untuk mempertahankan martabat dan harga diri bangsa. Bagi Jafar dan para santri, perjuangan mereka adalah amanah yang harus ditunaikan, sebuah jihad yang telah ditegaskan oleh para ulama. Pada tanggal 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari, tokoh ulama besar Nahdlatul Ulama, mengeluarkan Resolusi Jihad. Seruan ini mendorong umat Islam di seluruh Indonesia untuk berjihad melawan penjajah. Para santri tidak memerlukan senjata modern atau perlengkapan canggih; bagi mereka, keyakinan bahwa Allah bersama mereka sudah menjadi kekuatan yang tak tertandingi.
Di jalan-jalan Surabaya, para santri dan pemuda menghadapi tentara Sekutu yang jauh lebih terlatih dan dilengkapi dengan senjata berat. Namun, keberanian mereka tak pernah surut. Jafar bersama kawan-kawannya, dengan ikat kepala putih bertuliskan “Merdeka atau Mati”, berjuang di garis depan. Mereka tahu bahwa kemungkinan untuk selamat sangatlah kecil, tetapi keberanian dan semangat mereka melebihi rasa takut akan kematian. Mereka percaya bahwa pengorbanan ini akan menjadi warisan bagi generasi selanjutnya, sebuah kenangan yang akan menginspirasi anak-cucu bangsa.
Pertempuran di Surabaya berlangsung begitu sengit. Di tengah kekacauan, Jafar teringat pesan kyainya, “Ingatlah bahwa setiap langkah, setiap tetes darah, adalah pengorbanan untuk bangsa. Allah bersama orang-orang yang berjuang dengan ikhlas.” Pesan ini menambah keberanian di hatinya. Dalam kondisi paling genting sekalipun, takbir tak pernah berhenti menggema dari bibir mereka, sebagai penguat hati dan simbol bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk meraih kemenangan duniawi, tetapi juga kemuliaan di akhirat.
Di antara para santri, terdapat pula ulama besar seperti KH. Wahid Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah. Mereka tidak hanya memimpin doa dan memberikan dukungan spiritual, tetapi juga turun langsung mengobarkan semangat para pejuang. Mereka mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah karunia yang harus dijaga, dan bahwa penjajahan adalah bentuk ketidakadilan yang harus diperangi. Bagi para santri, pesan ini membakar semangat dan menumbuhkan keberanian yang tidak tergoyahkan.
Di tengah pertempuran, banyak santri yang harus gugur, namun mereka tidak pernah gentar. Bagi mereka, setiap langkah menuju kematian adalah langkah menuju kemuliaan. Jafar melihat banyak kawan-kawannya tumbang, tetapi ia tetap melangkah maju. Ketika amunisi mereka habis, mereka menggunakan bambu runcing dan senjata seadanya. Tak sedikit yang melawan dengan tangan kosong, namun semangat mereka tetap berkobar. Mereka tahu bahwa selama ada keyakinan dalam hati, tidak ada kekuatan yang bisa memadamkan nyala semangat mereka.
Pada akhirnya, meski banyak yang gugur, perjuangan ini membuahkan hasil. Peristiwa 10 November 1945 dikenal sebagai salah satu momen heroik dalam sejarah Indonesia, yang kelak diperingati sebagai Hari Pahlawan. Para santri dan ulama yang terlibat dalam pertempuran ini telah menorehkan kisah keberanian yang akan selalu dikenang. Mereka telah mengajarkan kepada kita bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah yang diberikan, melainkan hasil dari perjuangan yang tidak mengenal lelah.
Bagi generasi muda masa kini, kisah ini bukan sekadar sejarah. Ini adalah warisan yang harus dijaga, spirit yang harus terus menyala dalam jiwa kita. Pada era modern, medan perjuangan kita mungkin berbeda, tetapi semangatnya tetap sama. Di era globalisasi ini, pemuda Indonesia harus siap menghadapi tantangan yang tak kalah berat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, hingga teknologi. Kita harus mampu bersaing dengan bangsa lain, menjaga identitas dan jati diri sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat.
Sebagaimana Jafar dan rekan-rekannya yang memperjuangkan kemerdekaan dengan keberanian yang tak terukur, kita pun harus siap mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang konstruktif. Setiap perjuangan untuk kemajuan bangsa adalah bentuk pengabdian, bentuk jihad yang baru. Para santri dan ulama di masa lalu telah menunjukkan bahwa kekuatan iman dan semangat kebangsaan dapat mengatasi segala rintangan. Kini, saatnya kita melanjutkan perjuangan tersebut, bukan lagi dengan bambu runcing atau senjata, tetapi dengan ilmu, kreativitas, dan karya nyata.
Semoga kita mampu meneladani keteguhan hati para pejuang di Surabaya. Mereka telah berkorban untuk kemerdekaan yang kita nikmati hari ini. Tugas kita sekarang adalah mempertahankan kemerdekaan itu dan mengisinya dengan perjuangan baru, perjuangan untuk menjadikan Indonesia lebih maju dan bermartabat di kancah dunia. Mari kita jadikan Hari Pahlawan ini sebagai momen untuk merenung, mengingat bahwa kemerdekaan ini adalah amanah yang harus kita jaga dan teruskan kepada generasi berikutnya.
“Merdeka atau Mati” telah menjadi semboyan para pahlawan di masa lalu. Hari ini, bagi kita, maknanya mungkin telah bergeser, tetapi intisarinya tetap sama: berjuang sekuat tenaga untuk menjaga martabat bangsa, untuk meraih cita-cita yang lebih tinggi, dan untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik dari hari ke hari.
No Responses