Revitalisasi Spirit Islam dalam Konstitusi Indonesia
Revitalisasi Spirit Islam dalam Konstitusi Indonesia: Dari Piagam Jakarta ke Misi Kebangkitan Islam Nusantara
Oleh : Gus Imam (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
Pada tanggal 18 Agustus 1945, di tengah euforia kemerdekaan, terjadi penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Keputusan ini, yang menggantikan frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” menyisakan luka mendalam di hati umat Islam Indonesia. Bagi para tokoh Muslim seperti Muhammad Natsir, penghapusan ini bukan hanya soal kehilangan kata, melainkan simbol pengabaian aspirasi Islam dalam fondasi negara. Bagi mereka, ini adalah seruan untuk refleksi kolektif—suatu momen untuk istighfar, bukan hanya sebagai pertobatan personal, tetapi sebagai misi nasional untuk “taubat konstitusi” yang mendalam.
Kehilangan ini tak seharusnya dipandang sebagai akhir dari perjuangan Islam. Justru, ini adalah panggilan bagi umat Muslim untuk bangkit dengan semangat baru, membangun kembali identitas dan aspirasi spiritual bangsa dalam bingkai modern. Istighfar yang diserukan Natsir bukan sekadar introspeksi, tetapi sebuah panggilan heroik, mengajak umat Muslim untuk terus menghidupkan dan memperjuangkan nilai-nilai Islam di setiap sendi kehidupan bangsa.
Dengan semangat revitalisasi spiritual, umat Muslim dapat melihat kembali sejarah ini sebagai motivasi, bukan sebagai alasan untuk menyerah. Perjuangan untuk mengembalikan nilai-nilai Islam dalam konstitusi nasional adalah sebuah tugas yang harus disadari oleh setiap generasi Muslim. Seperti yang termaktub dalam Al-Quran: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri” (QS Al-Baqarah [2]: 222). Ayat ini bukan hanya soal moral personal, tetapi menjadi panduan untuk mengupayakan sebuah sistem yang membawa prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan publik.
Penghapusan frasa syariah ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menghilangkan kehadiran nilai-nilai Islam dalam sistem hukum nasional. Namun, itu bukan berarti umat Muslim harus tunduk dan menganggap kekalahan ini sebagai akhir dari segalanya. Sebaliknya, umat Islam Indonesia seharusnya mengambil inspirasi dari sejarah ini sebagai energi baru untuk menciptakan “taubat konstitusi” —membangun kembali komitmen untuk menjaga moral bangsa melalui etika Islam yang berakar dalam.
Tidak dapat dipungkiri, Piagam Jakarta menyimpan warisan dan kehormatan bagi bangsa ini sebagai salah satu warisan terbesar dari perjuangan Islam Nusantara. Piagam ini tidak hanya mewakili aspirasi umat Muslim, tetapi juga menawarkan visi inklusif yang menghormati pluralitas masyarakat Indonesia. Jika ditilik lebih dalam, Piagam Jakarta sebenarnya mengajarkan bahwa prinsip syariah dapat berjalan seiring dengan keanekaragaman budaya tanpa menimbulkan perpecahan.
Namun, kita tidak harus berhenti pada romantisme masa lalu. Justru, Piagam Jakarta menjadi simbol bahwa aspirasi Islam dapat terus hidup dalam semangat bangsa. Meskipun tidak tertulis secara eksplisit dalam konstitusi, nilai-nilai Islam tetap dapat dihidupkan melalui langkah-langkah aktif dalam dunia pendidikan, ekonomi, dan pemerintahan. Semangat Piagam Jakarta bukanlah dogma yang hanya berorientasi pada simbol, melainkan esensi moral dan etika yang harus terus hidup dan dijaga oleh umat Islam Indonesia.
Refleksi ini membawa kita pada gagasan Piagam Madinah, dokumen pemerintahan yang ditulis oleh Nabi Muhammad SAW yang berhasil menyatukan umat Muslim dan non-Muslim dalam satu negara. Piagam Madinah menunjukkan bahwa umat Islam bisa hidup damai dengan masyarakat yang berbeda keyakinan tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip Islam. Bagi umat Muslim Indonesia, Piagam Madinah dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan sistem yang menghargai pluralisme namun tetap mewadahi aspirasi Islam.
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta memang menyisakan luka, namun itu juga menantang kita untuk menemukan kembali identitas kita sebagai bangsa Muslim yang hidup dalam keragaman. Tugas ini bukan sekadar nostalgia masa lalu tetapi juga tanggung jawab besar untuk generasi mendatang. Setiap generasi harus memiliki semangat dan tekad yang sama seperti para pendiri bangsa—semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan publik, sambil tetap menjaga harmoni dalam pluralisme.
Jika umat Muslim Indonesia melihat kekalahan ini dengan mata yang penuh harap, maka kita bisa mengubah luka sejarah menjadi energi untuk memperjuangkan nilai-nilai syariah di tengah dinamika zaman modern. Kita perlu mempertahankan semangat istighfar Natsir sebagai pengingat untuk terus berjuang dan berusaha memperkuat nilai-nilai Islam di Indonesia.
Hari ini, panggilan itu masih terdengar. Panggilan untuk menghidupkan kembali semangat Piagam Jakarta dalam konteks yang lebih modern, melalui Piagam Madinah sebagai inspirasi untuk menciptakan Indonesia yang damai, adil, dan bermartabat. Jika kita bersatu dalam visi ini, maka kita bukan hanya membangun bangsa yang kuat secara fisik, tetapi juga bangsa yang teguh dalam prinsip spiritualnya.
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, dan sudah sepatutnya menjadi rahmat bagi Indonesia. Adalah tugas kita untuk membangun sistem yang tak hanya memprioritaskan keuntungan material, tetapi juga keberkahan spiritual yang akan membawa kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ini adalah visi besar yang menginspirasi, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi setiap individu yang ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang adil dan penuh berkah.
Jadi, kita tidak boleh lagi hanya menunggu perubahan datang dari atas. Sudah saatnya bagi umat Muslim Indonesia untuk menjadi aktor utama dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang sejalan dengan semangat kebangsaan. Mari kita bersama-sama menjadikan istighfar bukan hanya sebagai bentuk refleksi personal tetapi juga sebagai seruan untuk memperjuangkan Indonesia yang bermoral dan bermartabat, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
No Responses