Meneladani Pemuda Islam Yang Mampu Mempersatukan Bangsa Bangsa
Jawatimur – Magetan – Mearindo – (28/10/2021) Di setiap sejarah bangsa, negara, serta peradaban, selalu ada tokoh pemuda yang mengambil bagian menjalanakan peran memantik perubahan. Sebut saja di bidang ilmu pengetahuan, khazanah Islam setidaknya mencatat nama Al-kindi (185 H/801 M) sebagai salah seorang yang menguasi beragam ilmu pengetahuan sekaligus didapuk sebagai filsuf tangguh dari dunia arab.
Ia yang menguasai 3 bahasa sejak belia telah melahirkan tak kurang dari 260 karya selama hidupnya, serta menjadi dasar pijakan perkembangan ilmu pengetahuan setelahnya.
Di dunia kepemimpinan, ada Muhammad Al-Fatih, panglima yang kebesarannya mampu menggerakan hati dan jiwa prajurit, sehingga mampu melakukan hal yang mustahil sebagai manusia biasa. Seorang yang di ramalkan oleh Nabi Agung sebagai raja terbaik yang memimpin pasukan terbaik yang pernah ada.
Kesemuanya itu berhasil dicapai diusianya yang ke 25 tahun. Sehingga dikatakan oleh Felix Shiaw (2013) bahwa peran pemuda inilah yang menjadi kunci perubahan besar yang berpengaruh ke seluruh negeri.
Dua tokoh muslim diatas adalah lambang karakter pemuda yang maju dalam pemikiran dan unggul dalam kepemimpinan. Pikirannya yang dalam mampu menelanjangi persoalan sehingga mampu menemukan kebenaran.
Kepemimpinannya yang tangguh mampu mempengaruhi serta merebut hati hingga impiannya abadi di dalam dada orang-orang yang dipimpinnya. Lantas bagaimana kita memaknai sumpah pemuda?
Sudah saatnya, kita mengulang sejarah kebangkitan pemuda 28 oktober ini dengan spirit mengembangkan narasi-narasi yang mencerdaskan, menunjukan jatidiri sebagai tulang punggung bangsa dengan cara menaikan level berpikir generasi mudanya dengan menularkan firus pikiran yang mencerahkan, menguasai ilmu sebelum terucap menjadi retorika, sehingga mampu terbang ke arah perubahan.
Tentunya perubahan yang sesungguhnya adalah perubahan yang dimulai dari sekup terkecil yaitu individu, sebab menurut Ibnu Khaldun tidak ada lingkaran perubahan besar kecuali bermula dari titik-titik perubahan yang terkecil yakni diri sendiri.
Dengan kata lain, menjadi pemuda yang siap menyokong kemajuan di semai dari pikiran yang jernih dengan mendidik diri lewat memperkaya ilmu. Akan tetapi, mencari ilmu tidak dibatasi oleh jenjang pendidikan formal, melainkan lebih daripada itu ada ilmu kehidupan juga agama yang sedemikian luas dan tak ada habis. tatkala semakin diteguk ilmu itu semakin bertambah rasa dahaga yang datang, makin dalam menyelam justru terasa makin jauh kedasar. Ilmu kehidupan membawa pengalaman, ilmu agama mengikat perbuatan.
Buah dari menanam benih ilmu di dalam pikiran yang akan tumbuh adalah luas wawasan, timbul kebijaksanaan serta kewaspadaan. Sehingga yang terwujud adalah watak pemuda yang mampu membawa dan mengarahkan anak bangsa, cermat dan tepat membaca gerak perubahan, serta tidak mudah kehilangan narasi cerdas berpikirnya. Bukan pemuda yang gagap melihat perubahan, hingga terbawa arus kuat yang ada didalamnya sampai menanggalkan pikirannya yang kritis.
Pada saat yang bersamaan, dalam diri seorang pemuda, karakter cerdas tidak boleh berpisah jalan dengan keanggunan moralitas (akhlak), sehingga tidak terus menerus mencetak manusia yang surplus dalam kepandaian namun minus dalam akhlak, atau dalam bahasa buya Syafi’i Ma’arif disebut sebagai tuna moral.
Melihat hal tersebut, justru harapan terhadap pemuda sungguh amat besar bahwa ia di nantikan menjadi role model yang unggul bagi bangsanya juga harapan masa depan.
Lebih daripada itu, pemuda layaknya mampu menempatkan diri secara bijak menjadi warga di dunia nyata, maupun didunia kedua secara maya. Memang harus diakui, belakangan ini dunia yang tak nyata tersebut kian kemari justru kian mudah dijadikan sarana menyulut disintegritas serta keharmonisan hubungan antar sesama anak bangsa.
Dunia sosial media yang semestinya menjadi alat perekat persatuan karena menghilangkan batas dan memangkas jarak, malah berubah. Oleh karena menghadirkan masalah yang amat jauh wilayahnya, menjadi masalah bersama yang seakan berada di pelupuk mata kita. Hingga yang terjadi adalah sama-sama memendam marah, kecewa dan sebagainya. tapi sebaliknya, bukan perasaan untuk mengurai masalah bersama.
Oleh karenanya, Sebagai pemuda, sikap yang sepantasnya lahir adalah tidak ada kata yang diucapkannya dan tindakan yang diperbuatnya kecuali bahasa pemersatu. Nalurinya untuk kebersamaan, darinya terpojok sikap primordial, golongan, maupun semangat merdeka seorang diri.
Jika ingin diabadikan oleh sejarah sebagai patriotik, maka narasi cerdas dan pemersatu tersebut harus ada dalam diri pemuda. Agar semangat sumpah kesatuan; bahasa, tanah air, kebersamaan, persatuan serta keadilan menjadi dalil dalam dada setiap anak bangsa dan tetap menggema ke seantero bumi pertiwi !. salam pemuda satu bahasa !!
Oleh : Hanif Ikhsani, M.Pd. Kabid Dakwah PDPM Magetan
No Responses