SURAT DAKWAAN PERKARA IB HRS LAYAK DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM
Jakarta, 6 April 2021.
Disampaiman oleb Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana)
Surat Dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum merupakan acuan dasar bagi proses pemeriksaan di persidangan. Substansi pokok yang dituangkan dalam Surat Dakwaan memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan. Perumusan tersebut ditarik dan disimpulkan dari serangkaian hasil pemeriksaan penyidikan. Untuk selanjutnya dikontruksikan dengan objektif uraian pemenuhan unsur pasal tindak pidana yang dilanggar. Unsur delik dimaksud adalah unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea).
Pada Surat Dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa (in casu IB HRS) ternyata tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yakni, “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.” Ketidakcermatan, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan Surat Dakwaan tersebut ditunjukkan dengan tidak dimuatnya secara lengkap dan rinci unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
Surat Dakwaan yang disampaikan oleh Penuntut Umum sama sekali tidak mengandung keterhubungan antara perbuatan (actus reus) dengan kesalahan (mens rea). Padahal uraian unsur-unsur delik dimaksud merupakan hal yang fundamental dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Terlebih lagi unsur kesalahan (subjective onrecht element) berkedudukan sebagai penentu untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana tersebut dilakukan dengan kesalahan. Pada negara dengan sistem hukum common law dikenal maxim yaitu, “actus non facit reum nisi mens sit rea” (suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali dengan sikap batin yang salah). Unsur kesalahan sebagai syarat pertanggungjawaban pidana tidak ditemukan dalam uraian Surat Dakwaan dan keterhubungannya dengan perbuatan yang didakwakan.
Menurut Marwan Mas, substansi Surat Dakwaan sebagai dasar pemeriksaan Hakim dalam sidang Pengadilan tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan tindak pidana yang disangkakan oleh Penyidik dalam berkas perkara penyidikan. Surat Dakwaan juga harus sinkron dengan hasil penyidikan, harus benar-benar sejalan dan seiring dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Surat Dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan disebut olehnya sebagai Surat Dakwaan palsu. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan untuk dibawa ke sidang Pengadilan. (Marwan Mas: 2012).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum pada IB HRS tidak sinkron, bertentangan dan menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan. Hal ini dapat dilihat dari masuknya Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d UU Ormas, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 10 huruf b KUHP jo Pasal 35 ayat (1) KUHP. Kesemuanya itu tidak ada dalam hasil pemeriksaan penyidikan. Disini terkonfirmasi bahwa Surat Dakwaan a quo mengandung penyimpangan serius.
Menurut ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka Surat Dakwaan Penuntut Umum tersebut harus dinyatakan “batal demi hukum”.
No Responses