Sikapi Teror Tanah Air, KOMNASDIK Magetan Gelar Sarasehan, Ini Isinya!
MAGETAN – Menyikapi fenomena aksi teror di tanah air, Komisi Nasional Pendidikan (KOMNASDIK) Kabupaten Magetan menggelar Sarasehan Virtual Kebangsaan bertajuk Damailah Indonesiaku – Pendidikan Menjawab Radikalisme dan Aksi Terorisme bertempat di Aula Yayasan Umar Ibnul Khaththab Magetan, Sabtu Pagi (10/04/2021).
“Kita berharap sarasehan ini dapat menginspirasi, membuka wawasan, dan menanamkan rasa kebinekaan serta menumbuhkan jiwa Pancasila dengan selalu menjunjung nasionalisme dan persatuan bangsa,” ujar Ketua Komnasdik Magetan, Imam Yudhianto, SH, SE, MM saat membuka acara.
Acara sarasehan virtual ini diikuti oleh ratusan peserta melalui aplikasi zoom berdurasi kurang lebih 120 menit, mulai pukul10.00 sampai 12.00 WIB. Hadir sebagai narasumber dalam acara ini : Riful Hamidah, M.Pd. (Pemerhati Psikososial Pendidikan), Drs, Sudjianto Adiwinata, M.Pd (Penulis dan Pengamat Perilaku Sosial Remaja), Imam Yudhianto, MM (Pengamat Radikalisme dan Terorisme), Sukemi, M.Pd. (Pemerhati Pengembangan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan).
Mengawali pembicaraan, Riful Hamidah memaparkan fakta bahwa masa cognitive opening merupakan transisi krisis identitas yang akan membentuk kepribadian dan karakter pelajar dan mahasiswa. Sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan para pelajar sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, di sisi lain proxy teroris menyadari problem psikologis generasi muda. Mereka mengincar para pelajar atau mahasiswa yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan apa yang dibutuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. “Nah, disinilah pendidikan harus bisa menjawab tantangan ‘perang idiologis’ yang dikembangkan oleh penyebar paham teroris ini,” ungkap Riful.
Imam Yudhianto yang juga Dosen Pendidikan Agama Islam di salah satu kampus di Madiun mengungkapkan, bahwa kehadiran Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dengan klaim penegakan syariah dengan negara khilafahnya, menjadi masalah serius ketika generasi muda islam yang memiliki semangat tinggi tanpa disertai pemahaman yang benar menyatakan bergabung dan ikut berbaiat kepada pemimpin ISIS. Dari situlah, kemudian muncul berbagai amaliah teror yang terus menggelora mengikuti perkembangan situasi nasional.
“Dari pengamatan kita, tidak menutup kemungkinan ada keterlibatan oknum tertentu di luar kelompok mereka yang berperan sebagai penyedia senjata, bahan bahan bom, dan alat komunikasi, yang digunakan dalam aksi teror,” jelasnya.
Para Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi filter terhadap perkembangan paham radikalisme terorisme, serta tumbuh suatu pemahaman dan komitmen bersama yang kuat untuk melawan radikalisme dan tertanamnya semangat bela negara berdasarkan Pancasila.
”Berbagai provokasi, propaganda dan ajakan kekerasan yang dapat menggetarkan gairah anak muda untuk ikut terlibat dalam gerakan politik kekerasan harus bisa ditangkal dengan pelurusan pemahaman melalui pelajaran atau mata kuliah Aqidah dan Syari’ah,” tegasnya
Imam tidak setuju dengan statement tokoh nasional yang menyatakan bahwa pencegahan radikalisme dan terorisme harus dilakukan dengan cara mengurangi jam pembelajaran Aqidah dan Syari’ah. Sebab menurutnya, cara yang paling efektif untuk meluruskan pemahaman para radikalis teroris justru dengan memperkuat keimanan, mengembalikan cara pandang beragama mereka yang keliru melalui pembelajaran Aqidah secara intensif berkelanjutan.
“Mereka yang berpemahaman radikalis khawarij, pada dasarnya memiliki dua cara pandang yang menyimpang. Yang pertama mudah mengkafirkan pelaku dosa besar atau orang yang tidak sepaham dengan mereka dan yang kedua, selalu tidak puas terhadap pemerintahan yang ada, serta mengajak orang lain untuk melakukan makar atau pemberontakan. Maka keyakinan ekstrim ini hanya bisa ditangkal dengan menanamkan keyakinan Aqidah yang lurus sebagaimana yang dibawa dan dipahami oleh Rasulullah dan para shahabatnya,” tukasnya.
Sementara itu, Sudjianto menekankan agar pendidikan memiliki fungsi dan peran yang jelas untuk menguatkan karakter luhur dan berbudi. Menurutnya, masa muda merupakan periode emas untuk meningkatkan personal branding melalui karakter religius yang anti kekerasan, anti intoleransi, dan cinta perdamaian. “Pendidikan karakter seperti ini bisa dikembangkan melalui metode pengembangan diskusi kritis analisis solutif di setiap pembelajaran. Siswa atau mahasiswa dididik untuk menghargai perbedaan, dan memberikan tawaran solusi di tiap problematika ideologi, sosial budaya, ekonomi dan politik yang dibahas,” ungkapnya.
Menggiatkan budaya literasi melalui blogging atau media sosial berbasis personal web, dapat mengajarkan para remaja mengungkapkan ekspresi pandangannya terhadap persoalan bangsa secara lugas, jujur dan penuh tanggungjawab. “Jangan hanya bisa melempar masalah, menggerutu, mencaci maki, dan tidak setuju dengan keadaan, tapi bagaimana anak anak muda dengan tulisannya di media sosial, dapat memberikan konsep solusi pemecahan masalah, karena dia harus sadar bahwa tulisannya itu bisa dibaca oleh seluruh orang di dunia,” papar Sudjianto, yang juga seorang gurusianer.
Menutup pemaparan materi sarasehan, Sukemi menjelaskan selain persoalan ideologis dan sikap kritis skeptis terhadap pemerintah, kerentanan kondisi sosial ekonomi dan kedangkalan wawasan kebangsaan nasional dapat memicu anak muda untuk ikut dalam komunitas para teroris. Kebanyakan mereka tergiur keteladanan sosial dan nilai tambah ekonomi yang dikembangkan dalam berbagai kegiatan oleh para pendukung pemahaman radikalis teroris. “Pendidikan harus menjawab hal ini, dan ini harus dimulai sejak sekarang. Para pemangku kebijakan harus sadar bahwa nilai kemandirian sebagai output institusi pendidikan, wajib terimplementasi secara riil dalam pengembangan kurikulum berbasis teknologi, yang menghasilkan lulusan berkarakter entrepreneur, dan mampu mandiri secara finansial,”
Sukemi mengapresiasi strategi double track yang dikembangkan saat ini oleh beberapa sekolah. Dirinya berharap dengan pembekalan economic soft skill dan hard skill berbasis teknologi informasi dalam pembelajaran ganda itu dapat mengkolaborasi kebutuhan akademis, mental sekaligus keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja pada era industi 4.0. “Kalau saja para lulusan sekolah menengah di usia belianya sudah mampu mandiri dan mencukupi kebutuhannya sendiri, maka pemahaman radikal dan anti toleransi tidak akan laku dijual di tengah mereka. Untuk mendukung hal tersebut, sekolah dan perguruan tinggi perlu bekerjasama dengan lembaga diklat, dunia usaha, dan menguatkan peran alumni, tambah Sukemi.
Yuliati salah seorang guru dan penggiat literasi yang menjadi peserta sarasehan, mengungkapkan dukungannya kepada Komnasdik Magetan, untuk terus bergerak mendukung program-program pendidikan berbasis karakter yang dicanangkan Pemerintah.
“Dengan sarasehan seperti ini, kontribusi pemikiran Komnasdik untuk pendidikan Indonesia harus terus dilanjutkan. Sampaikan konsep konsep brilyian ini pada tataran pengambil kebijakan, ajak PGRI, IGI, Dewan Pendidikan dan lainnya untuk membahas konsep implementatif pencerahan. Agar mereka lebih perhatian terhadap nasib anak bangsa ke depan,” pungkasnya. (red)
No Responses