Chair Ramadhan Kupas “Posisi Kaum Intelektual Di Era NEO Feodalisme Dan Imperialis”
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH. Ketua Umum HRS Center
Feodalisme – sebagai paham yang memusatkan semua sistem pemerintahan hanya pada seorang penguasa – adalah bagian dari proses evolusi sosial yang dialami oleh semua masyarakat di seluruh dunia. Proses evolusi sosial dimaksud sebagai bentuk peralihan dari bentuk masyarakat primitif ke masyarakat tradisional dan kemudian ke bentuk masyarakat modern. Namun, dalam masyarakat modern ternyata masih banyak dan bahkan masih tetap menerapkan tradisi feodalisme dalam berbangsa dan bernegara, khususnya pada negara berkembang tidak terkecuali Indonesia.
Fase baru feodalisme di era modern (neo-feodalisme) ternyata tidak lepas dari cengkeraman neo-imperialisme dan keduanya saling bersinergi untuk kepentingan (eksistensi) masing-masing. Kekuasaan yang digenggam oleh neo-feodalis ini tetap dikendalikan oleh neo-imperialis. Dapat dikatakan, neo-feodalisme menjadi bagian dan terkooptasi oleh neo-imperialisme. Dengan demikian tidak ada bedanya antara feodalisme dimasa tradisional dengan neo-feodalisme di era globalisasi saat ini. James Petras dalam diskursus tentang globalisasi menyatakan bahwa globalisasi tidak lain adalah wujud kelanjutan kolonialisasi (neo-imperialisme) melalui actor non-state dalam bentuk perusahaan Trans National Company atau Multi National Company.
Lebih lanjut, tidak menjadi jaminan bahwa dengan adanya perubahan sistem pemerintahan (ketatanegaraan) pada negara berkembang di era modern mampu melepaskan dirinya dari para neo-feodalis dan neo-imperialis. Kekuasaan yang ada pada neo-feodalis ternyata sangat bergantung pada neo-imperialis. Neo-feodalis tersebut sebagai unit terpengaruh, sedangkan neo-imperialis sebagai unit pengaruh (eksplanasi). Kekuasaan yang diperoleh sangat ditentukan oleh neo-imperialis tersebut.
Dalam mempertahankan kekuasaannya, kaum neo-feodalis tetap mengacu kepada ajaran trias politica, namun dalam praktik pembagian kekuasaan itu telah direkayasa sedemikian rupa untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya.
Pada bidang sistem hukum, kaum neo-feodalis telah menjadikan “manusia untuk hukum”, bukan sebaliknya. Pengaruh paham positivisme menjadi dalil penguasa menegakkan hukum atas dasar kepastian belaka walaupun harus mencederai keadilan. Kepentingan politik demikian “supreme” dan dengannya mampu mengintervensi penegakan hukum. Hukum tidak lagi diposisikan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan umum, namun telah menjelma sebagai alat mempertahankan kekuasaan.
Pada sistem pemerintahan, berbagai posisi elemen pemerintahan diperuntukkan hanya kepada kelompoknya dan menjadikannya sebagai perpanjangan ambisi kekuasaan. Di sisi lain kepentingan pihak neo-imperialis turut pula memetik manfaat melalui sejumlah regulasi yang menjauh dari prinsip keadilan sosial. Kepentingan neo-imperialis melalui actor non-state harus diterjemahkan dalam sistem hukum ekonomi yang kemudian melahirkan produk perundang-undangan yang tidak pro rakyat. Jadi secara struktural tidak ada bedanya dengan sistem kekuasaan feodal (monarki).
Kebijakan yang dibuat tentunya bersifat dualisme, di satu sisi menguntungkan pihak penguasa dan pihak neo-imperialis namun di sisi lain menimbulkan kerugian dan derita nestapa rakyat. Rakyat tidak menikmati pembangunan, yang mendapat manfaat adalah kelompok neo-feodalis dan neo-imperialis, hal ini sangatlah miris.
Budaya materialisme dan hedonisme demikian kuat merasuk dalam diri kau noe-feodalis dimasa kini. Eksploitasi terhadap sumber daya alam demikian nyata, korupsi terjadi demikian terstruktur dan sistemik, begitupun kriminalisasi terhadap lawan politik demikian ofensif dan masif.
Penguasa bercorak neo-feodalis memposisikan dirinya sebagai “manusia tertinggi”, walaupun tidak pernah menyatakan sebagai “penguasa religi”, namun melalui kekuasaannya mampu mendapatkan legitimasi atas kebijakannya dengan sejumlah fatwa dan/atau dukungan dari perkumpulan agama. Di sini terkonfirmasi bahwa “kitab suci diposisikan di bawah konstitusi” demi sebuah ambisi.
Di era neo-feodalisme, peranan intelektual tradisional yang tidak berafiliasi dengan kekuasaan terpinggirkan, jikalau mereka berseberangan secara terbuka akan dimarginalkan dan tidak tertutup kemungkinan diterapkan sanksi hukum “kematian perdata”, terkecuali mau beradaptasi pastilah diakomodasi. Lain halnya dengan intelektual organik yang berhubungan dengan kekuasaan mereka akan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan penguasa, lebih khusus lagi bagi neo-imperialis.
Saat ini, relatif sedikit intelektual – sebagaimana diharapkan oleh Noam Chomsky – yang berada dalam posisi mengungkapkan kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai dengan penyebab, motif dan maksud yang tersembunyi. Ia mencontohkan filsuf besar Martin Heidegger yang mengatakan “kebenaran adalah pengungkapan sesuatu yang membuat seseorang merasa pasti, jelas, serta kuat dalam tindakan maupun pengetahuannya.” Ia juga mengatakan bahwa intelektual adalah yang selalu mengambil tempat di sisi orang-orang yang kalah.
Lebih lanjut, Edward W. Said, Guru Besar bahasa dan sastra Universitas Columbia mengatakan “seorang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran pihak penguasa. Karena itu, ia lebih cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa.”
Peran kaum intelektual sangat dibutuhkan kapanpun dan dimanapun, terlebih lagi dalam menghadapi noe-feodalisme dan neo-imperialisme di era globalisasi saat ini. Kehadiran para intelektual bukan menjadi milik siapa-siapa, dia tidak menjual diri pada pihak manapun, namun dia “mewakafkan dirinya” untuk kepentingan agama, bangsa dan negara.
(Penulis adalah juga Dosen Tetap Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Krishnadwipayana)
No Responses