Dilema Wacana Mekanisme Pilkada Langsung dan Musyawarah DPRD dalam Prespektif Kebijaksanaan Pancasila
Mearindo.com, Ketika demokrasi dikomodifikasi menjadi arena pertarungan kekuatan modal, wacana pemilihan kepala daerah melalui musyawarah di DPRD yang diwacanakan Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar alternatif teknis, tetapi tantangan filosofis terhadap arus demokrasi liberal. Dalam perspektif hukum tata negara, gagasan ini memaksa kita merenungkan ulang substansi kedaulatan rakyat sebagaimana dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 1945 asli. Namun, di tengah glorifikasi pemilu langsung sebagai puncak demokrasi, benarkah musyawarah adalah langkah maju, atau justru kemunduran historis?
Pemilihan langsung yang diadopsi sejak era reformasi dianggap sebagai manifestasi modern dari demokrasi, namun realitasnya penuh paradoks. Biaya pemilu yang mahal, politik uang, serta kampanye bombastis telah menjauhkan rakyat dari esensi partisipasi yang murni. Para ahli seperti Prof. Jimly Asshiddiqie menyebut fenomena ini sebagai “demokrasi transaksional” yang melemahkan nilai-nilai representasi sejati. Pemilih sering kali tidak diberdayakan secara substantif, melainkan hanya menjadi objek dalam perebutan suara melalui taktik populisme atau serangan fajar.
Namun, musyawarah di DPRD, sebagai alternatif, juga menyisakan masalah besar. Praktik suap-menyuap dalam pengambilan keputusan di kalangan legislatif telah menjadi rahasia umum. Dalam banyak kasus, keputusan musyawarah lebih mencerminkan kehendak oligarki ketimbang aspirasi rakyat. Misalnya, cerita tentang calon kepala daerah yang harus menjual harta benda demi “membeli” suara anggota DPRD menggambarkan betapa rapuhnya sistem ini tanpa pengawasan dan reformasi mendalam.
Di sinilah pentingnya kembali menggali akar filosofi sistem kenegaraan yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Pancasila, sebagai dasar negara, menempatkan sila keempat—“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”—sebagai penanda bahwa demokrasi Indonesia berbeda dari model liberal Barat. Demokrasi Pancasila menolak pendekatan one man, one vote yang hanya mengandalkan kuantitas suara, dan lebih mengutamakan kualitas keputusan melalui deliberasi yang bijaksana.
Dalam pandangan Prof. Miriam Budiardjo, demokrasi tidak semata-mata tentang prosedur pemilihan, tetapi soal bagaimana sebuah proses politik menghasilkan keputusan yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, yang menegaskan bahwa syura (musyawarah) adalah mekanisme ideal untuk menghasilkan pemimpin yang adil dan bijaksana, karena ia melibatkan pertimbangan kolektif yang matang.
Namun, musyawarah bukan tanpa tantangan. Dalam sistem politik modern, kualitas representasi di lembaga perwakilan seperti DPRD sangat menentukan keberhasilan musyawarah. Jika anggota DPRD tidak memiliki integritas, kapasitas, dan moralitas yang tinggi, maka musyawarah hanya akan menjadi formalitas yang mengabdi pada kepentingan kelompok tertentu. Dalam teori legitimasi Max Weber, otoritas hanya dapat diterima jika didasarkan pada prinsip rasionalitas dan etika yang dapat diterima oleh masyarakat luas.
Demokrasi langsung pun memiliki kelemahan mendasar. Serangan fajar, vote buying, hingga politisasi bantuan sosial adalah praktik umum yang menghancurkan integritas proses pemilu. Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America mengingatkan bahwa demokrasi tanpa kontrol moral akan melahirkan tyranny of the majority, di mana suara mayoritas dapat digunakan untuk menekan hak-hak minoritas. Ironisnya, pemilu langsung yang digembar-gemborkan sebagai representasi kedaulatan rakyat justru sering kali menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada popularitas daripada kompetensi.
Dalam konteks ini, wacana musyawarah di DPRD menawarkan refleksi mendalam terhadap sistem politik Indonesia. Secara normatif, mekanisme ini lebih selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 asli, yang menekankan kebijaksanaan dan keterwakilan. Namun, implementasinya memerlukan syarat-syarat yang ketat, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan penguatan kapasitas lembaga perwakilan.
Pelajaran sejarah juga menunjukkan bahwa Indonesia belum pernah benar-benar menerapkan sistem politik sesuai UUD 1945 asli. Demokrasi parlementer di awal kemerdekaan, demokrasi terpimpin di era Soekarno, hingga demokrasi liberal pascareformasi, semuanya menyimpang dari cita-cita kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Akibatnya, bangsa ini terus bergulat dengan korupsi, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial.
Sebagaimana diingatkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, stabilitas sosial hanya dapat terwujud jika mekanisme politik didasarkan pada keadilan dan keseimbangan kepentingan. Dalam hal ini, musyawarah yang sejati bukan sekadar proses politik, melainkan juga sarana untuk membangun konsensus yang berakar pada nilai-nilai moral dan spiritual.
Namun, tantangan terbesar adalah membangun kepercayaan publik terhadap sistem musyawarah. Tanpa pengawasan yang ketat, mekanisme ini berisiko menjadi instrumen baru bagi oligarki untuk memperkuat dominasi mereka. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan menjadi prasyarat mutlak. Penegakan hukum yang tegas, seleksi calon anggota DPRD yang berbasis kompetensi dan integritas, serta partisipasi masyarakat dalam mengawasi proses musyawarah adalah elemen kunci untuk menjadikan sistem ini efektif.
Dalam konteks hukum tata negara, musyawarah bukanlah langkah mundur, tetapi upaya untuk menemukan kembali esensi demokrasi Indonesia yang khas. Sebagaimana ditegaskan dalam teori social contract oleh Jean-Jacques Rousseau, legitimasi pemerintah berasal dari kehendak umum (general will) yang terwujud melalui proses deliberasi. Dalam kerangka ini, musyawarah dapat menjadi jalan tengah antara efisiensi pengambilan keputusan dan keberpihakan pada aspirasi rakyat.
Sebagai penutup, wacana Presiden Prabowo tentang Pilkada melalui musyawarah di DPRD mengajarkan kita untuk tidak sekadar terjebak pada mekanisme prosedural, tetapi juga merenungkan nilai-nilai substansial yang mendasari demokrasi. Musyawarah mencerminkan semangat kebersamaan, kebijaksanaan, dan keadilan yang telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia sejak dahulu.
Namun, wacana ini hanya akan menjadi jargon kosong tanpa keseriusan untuk membangun sistem politik yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Sebagaimana firman Alloh dalam QS. Asy-Syura ayat 38: “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” Ayat ini menjadi pengingat bahwa musyawarah bukan sekadar prosedur, melainkan manifestasi dari nilai-nilai spiritual yang mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.
Mari kita jadikan perdebatan ini sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola politik dan pemerintahan. Demokrasi bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah bangsa besar tidak diukur dari sistem apa yang diadopsi, tetapi dari seberapa jauh sistem tersebut dapat memenuhi harapan rakyatnya.
GUS IMAM (Pengamat Politik dan Kebangsaan, Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
No Responses