Masuknya Pasal Penghasutan Dalam Jeratan Delik Imam Besar HRS
Jakarta, 1 Desember 2020.
Ditulis oleh S. Alattas (Pengkaji Lisan Hal)
Masuknya delik peghasutan (Pasal 160 KUHP) dalam pemanggilan IB HRS adalah bentuk penerapan hukum yang terkesan dipaksakan dan cermin dari tidak berjalannya asas “equality before the law”.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ini semua diawali dari pelanggaran ‘Protokol Kesehatan’ terhadap IB HRS yang tidak dapat dijerat lebih jauh. Dikatakan demikian, oleh karena adanya dugaan pelanggaran serupa yang terjadi di beberapa daerah yang juga melibatkan anak dari petinggi negara. Oleh karena itu pasal 160 KUHP dijadikan senjata baru untuk menjerat dan menggemboskan perjuangan IB HRS.
Dalam ceramah IB HRS pada acara maulid di Tebet dan Petamburan (13 & 14 November 2020) tegas diungkapkan tentang “Revolusi Akhlak” yang merupakan buah pemikiran dari IB HRS yang jauh dari kesan hasut yang berpotensi menimbulkan tindakan pidana.
Jika dilihat lebih jauh tentang Pasal 160 KUHP terdapat dua subjek delik yaitu penghasut dan terhasut. Sumber niat jahat dari penghasutan adalah orang yang menghasut, dengan akibat terhasut melakukan tindakan melawan hukum sesuai dengan hasutan si penghasut. Disini, tentunya hasutan tersebut dilakukan dengan sengaja dimuka umum.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor: 7/PUU-VII/2009 telah merubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil. Dengan demikian, penghasut baru dapat dijerat pasal 160 KUHP jika telah terjadi akibat dari hasutan tersebut yaitu terjadinya perbuatan melawan hukum oleh terhasut.
Dengan adanya putusan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan penghasutan tidak bisa dipidana jika terhasut tidak melakukan perbuatan melawan hukum atau akibat dari hasutan tersebut. Sementara itu, dalam kasus a quo, IB HRS hanya menyatakan pendapat dimuka umum yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Hak konstitusional tersebut tidak bisa ditafsirkan sepihak sebagai perbuatan penghasutan, namun diperlukan adanya ‘mens rea’.
Fakta yang terungkap menunjukkan tidak adanya akibat perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksudkan. Oleh karena itu, jika Pasal 160 KUHP terus dipaksakan, maka dapat ‘menumbangkan’ asas kepastian hukum yang adil.
Sejarah akan mencatat bahwa seseorang dapat terjerat pidana berdasarkan asumsi/interpretasi sepihak dan demi tujuan politis. Kita tidak ingin cara berhukum mengalami tragedi.
(Gaul Lana)
No Responses