banner 728x90

Pemindahan Ibu Kota Negara dan Konflik Laut Cina Selatan


Presien Jokowi telah menerbitkan Perpres Nomor 60 Tahun 2020 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Dan Cianjur. Dalam Perpres tersebut DKI Jakarta dikategorikan sebagai bagian dari Kawasan Metropolitan. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur merupakan Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan ekonomi yang terdiri atas Kawasan Perkotaan Inti dan Kawasan Perkotaan di sekitarnya yang membentuk Kawasan Metropolitan. Kawasan Perkotaan Inti sebagaimana dimaksudkan adalah wilayah Jakarta. Dengan demikian, wilayah Jakarta adalah sebagai Kawasan Perkotaan Inti yang merupakan satu kesatuan dari Kawasan Metropolitan, selain Kawasan Perkotaan di sekitarnya.

Pada regulasi sebelumnya, Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, tidak ditemukan adanya Kawasan Metropolitan. Tidak ada disebutkan wilayah Jakarta sebagai dari Kawasan Metropolitan. Oleh karena itu, keberlakuan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 dinyatakan tidak berlaku lagi semenjak Perpres Nomor 60 Tahun 2020 ditetapkan pada tanggal 16 April yang lalu. Perpres Nomor 60 Tahun 2020 ini sangat berhubungan dengan rencana pemindahan Ibukota Negara. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, saat ini masih berlaku. Sesuai dengan penamaannya, DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 bahwa Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam hal pemindahan Ibukota Negara, RUU Tentang Ibukota Negara dan RUU Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia telah masuk dalam Prolegnas. Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan Perpres Nomor 60 Tahun 2020 mendahului penetapan pemindahan Ibukota Negara.

Selanjutnya, terdapat permasalahan geopolitik dan geostrategi yang perlu dikritisi. Sebagaimana kita pahami bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, pada Pasa 6 ayat (1) sebutkan bahwa Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan: a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana; b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. Apabila kita bandingkan dengan Perpres Nomor 60 Tahun 2020, maka keberadaan Kawasan Metropolitan (in casu Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur) merupakan Kawasan Strategis Nasional, akan tetapi pendekatannya lebih kepada kepentingan ekonomi (geoekonomi). Kawasan Metropolitan tidak lagi menjadi Kawasan Strategis Nasional dalam sudut kepentingan pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang. Dengan kata lain, pemusatan pertahanan dan keamanan negara akan beralih ke Ibukota Negara yang baru. Pada Pasal 1 ayat 28 Undang-Undang Penataan Ruang disebutkan bahwa Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Dalam perspektif Ketahanan Nasional yang berdasarkan Wawasan Nusantara sebagai geostrategi membutuhkan pemanfaatan ruang _(lebensraum)._ Pemanfaatan atas ruang tidak dapat dilepaskan dari aspek Pancagatra yang salah satunya pertahanan dan keamanan. Hal inilah yang mendasari penataan Kawasan Strategis Nasional harus berbasikan pada kepentingan geostrategi yang salah satunya adalah pertahanan dan keamanan negara. Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur dilihat sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan ekonomi belaka dan oleh karenanya menjadi Kawasan Metropolitan. Keberadaan Kawasan Strategis Nasional tidak dapat dilihat dari satu sudut saja (in casu ekonomi), namun juga aspek pertahanan dan keamanan negara, selain sosial dan budaya. Kesemuanya itu mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara. Terlebih lagi keberadaan Indonesia di kawasan Asia sangat strategis. Seiring dengan itu, perkembangan geopolitik menunjukkan Laut Cina Selatan menjadi pusat perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Dengan demikian, keberadaan Ibu Kota di Kalimantan dapat menjadi perebutan kedua negara tersebut. Lokasi Kalimantan terkepung di antara kekuatan armada maritim Amerika Serikat dan Tiongkok. Tegasnya wilayah itu sebagai salah satu wilayah pengaruh _(sphere of influence)._

Permasalahannya, Indonesia ‘dihadapmukakan’ pada kenyataan ketergantungan negara pada _market power_ Tiongkok. Lazim disebut dalam kajian hubungan internasional sebagai ketergantungan negara-negara ‘pinggiran’ _(periphery)_ terhadap negara _core._ Mengalirnya pinjaman uang yang demikian besar untuk pembangunan infrastruktur sangat terkait dengan ekspansi Tiongkok. Indonesia hanya dapat berkembang sebagai refleksi dari ekspansi Tiongkok sebagai negara dominan. Di sini terjadi hubungan interdependensi yang mengakibatkan bentuk ketergantungan. Tegasnya, kita akan selalu tergantung dengan Tiongkok dan oleh karenanya tidak lagi memiliki kemandirian. Asumsi penulis, pemindahan Ibukota Negara termasuk pemusatan pertahanan dan keamanan terhubung dengan klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan.

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center)

Editor: Faullana

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan