banner 728x90

HUBUNGAN SYARIAT ISLAM DENGAN NEGARA HUKUM PANCASILA: PERSPEKTIF TEORI SOLVASISASI HUKUM

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.* Direktur HRS Center

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.* Direktur HRS Centre

HUBUNGAN SYARIAT ISLAM DENGAN NEGARA HUKUM PANCASILA: PERSPEKTIF TEORI SOLVASISASI HUKUM

(Disampaikan Dalam Rangka Milad 2 Tahun HRS Center dan 75 Tahun Pancasila)

*Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.*
Direktur HRS Centre*

Pada kesempatan ini penulis kembali mengulas keberlakuan Syariat Islam dan keterhubungannya dengan Negara hukum Pancasila. Keterhubungan dimaksud dijembatani dengan teori Solvasisasi (Pelarutan) Hukum yang penulis gagas. Lebih lanjut, dapat dibaca dalam disertasi “Membangun Politik Hukum Sistem Ketahanan Nasional Terhadap Ancaman Ekspansi Ideologi Transnasional Syiah Iran”, pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret.

Keberadaan hukum dalam perspektif Negara hukum sangat terkait dengan tujuan hukum yang hendak dicapai. Keberadaan hukum ditinjau dari aksiologi hukum (ajaran tentang nilai hukum) dikaitkan dengan tujuan hukum, mengacu kepada aliran-aliran dalam filsafat hukum. Menurut Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, aksiologi hukum disebutkan secara _expressive verbis_“kepastian hukum yang adil”. Dapat dikatakan bahwa konstitusi mengikuti aksiologi hukum aliran Hukum Alam/Kodrat dengan mengacu kepada nilai-nilai keadilan yang bersifat mendasar (fundamental), dan aliran Postivisme Hukum dengan mengacu kepada nilai kepastian hukum. Diikutinya kedua aksiologi tersebut, bukan berarti Indonesia mendasarkan pada salah satunya atau keduanya. Indonesia tidak secara murni mengikuti prinsip keadilan sebagaimana dianut sistem hukum Anglo Saxon dan prinsip kepastian hukum sebagaimana dianut sistem Eropa Kontinental.

Indonesia adalah Negara hukum yang lahir dengan Pancasila sebagai falsafah dan dasar Negara. Paradigma Negara hukum Indonesia adalah mengacu pada Pancasila, lazim disebut “Negara Hukum Pancasila”. Jika dianalisis lebih lanjut, maka Negara hukum Pancasila tersebut merupakan perwujudan teori hukum transendental yaitu teori hukum yang di dasarkan atas nilai-nilai ke-Tuhan-an. Negara Hukum Pancasila memiliki karakteristik yang berbeda dengan konsepsi _’rule of law”_ maupun _“rechtsstaat”_. Indonesia juga menganut paradigma simbiotik, Negara dan Agama saling memerlukan dalam relasi yang interaktif.

Menurut paradigma simbiotik, Syariat Islam mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum Negara (hukum positif). Dengan kata lain, Syariat Islam dapat dijadikan sebagai hukum positif. Pada paham simbiotik tidak ada pemisahan yang rigid dan mutlak antara Negara dan Agama, keduanya berada dalam hubungan yang harmonis. Hal ini berbeda dengan negara sekuler (Barat) yang menganut doktrin pemisahan Agama dan Negara. Dengan demikian, Negara harus memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama _(freedom of religion)_ dan tiada tempat bagi paham komunis (ateisme) atau propaganda anti agama.

Dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagai tujuan dan cita-cita nasional, maka politik pembangunan hukum memiliki peranan yang demikian siqnifikan dan menentukan. Dimensi pembangunan hukum mempunyai makna yang lebih holistik dan fundamental dibandingkan dengan istilah pembinaan hukum atau pembaharuan hukum. Pembangunan hukum menunjuk pada substansi _(substance)_, struktur _(structure)_ dan budaya _(culture)_. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi.

Politik pembangunan hukum dalam paradigma Negara simbiotik mengacu kepada konsepsi ajaran Islam. Menurut penulis sudah semestinya Syariat Islam menjadi sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional. Landasan konstitusional menjadikan Syariat Islam sebagai sumber hukum menunjuk pada keberlakuan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959. Pada alinea kelima disebutkan _“…Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”_. Rumusan Piagam Jakarta menyebut dengan frasa “kewajiban menjalankan Syariat Islam”.

Kalimat ini bermakna bahwa “kewajiban” itu ditujukan kepada penyelenggara Negara untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang selaras dengan Syariat Islam. Dekrit Presiden telah menghubungkan Piagam Jakarta dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, walaupun tidak ada tambahan kalimat “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, namun berdasarkan Dekrit Presiden, rumusan Piagam Jakarta tersebut tetap menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Metode penafsiran hukum secara historis, teleologis dan sistematis sebagai dalil pembenar pendapat hukum ini. Penting dicatat, Piagam Jakarta bukan semata-mata ‘historistis’ melainkan juga ‘futuristis’. Terlebih lagi, Syariat Islam memiliki tingkat prediktibilitas yang besar, pengaturannya ditunjukan ke masa depan.

Argumentasi tersebut sekaligus membantah pendapat yang mengatakan bahwa mewujudkan “NKRI Bersyariah” adalah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pendapat demikian sangat ‘kering’ dan jauh dari pendekatan ilmiah. Telah banyak teorisasi yang mengakui keberlakuan Syariat Islam untuk dapat diterapkan antara lain, _Receptio in Complexu_ (Lodewijk Willem Christian Van Den Berg), _Receptie Exit_ (Hazairin), _Receptio a Contrario_ (Sajuti Thalib), Lingkaran Konsentris (Muhammad Tahir Azhary) dan penulis sendiri merumuskan dalam Teori Solvasisasi Hukum.

Teori Solvasisasi Hukum dimaksudkan dalam rangka menjembatani antara penerimaan umat Islam atas Syariat Islam dan kedaulatan Negara yang diwujudkan dalam politik hukum. Nilai-nilai maslahat yang terkandung dalam Syariat Islam _(al-Maqashid Syariah)_ dilarutkan dalam rumusan peraturan perundang-undangan. Pelarutan ini tidak berarti nilai-nilai Syariat Islam kehilangan maknanya. Pada prinsipnya, sesuatu yang dilarutkan tentu tidak lagi terlihat bentuk aslinya, namun demikian dapat dirasakan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Dalam pelarutan tersebut, tentu diperlukan suatu konsentrasi yakni perbandingan hukum positif dan _al-Maqashid Syariah_. Oleh karena yang dipositifkan _al-Maqashid Syariah_, maka keberadaannya disimbolkan sebagai hukum pelarut _(solvent)_. Adapun hukum positif disimbolkan sebagai hukum terlarut _(solute)_. Dapat juga disebut hukum pelarut sebagai hukum yang mempengaruhi (variabel pengaruh), sedangkan hukum terlarut sebagai hukum yang dipengaruhi (variabel terpengaruh). Nilai-nilai maslahat Syariat Islam memiliki konsentrasi terbesar, karena sebagai _solvent_. Dalam proses penerapannya tetap memerlukan keberlakuan secara yuridis formal oleh Negara. Secara formil Negara memegang peranan dalam proses pembentukan _(taqnin)_, penerapan _(tathbiq)_, maupun perubahan atau revisinya _(taghyir)_.

Keberlakuan teori Solvasisasi Hukum ini sangat efektif dan berdayaguna dalam upaya menjaga kepentingan hukum individu _(individuale belangen)_, kepentingan hukum masyarakat _(sosiale belangen)_ dan kepentingan hukum negara _(staats belangen)_. Kepentingan hukum itu sangat terkait erat dengan _rechtsidee_ yang mensyaratkan terpenuhinya tiga unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan _(gerechtigkeit)_, kepastian _(rechtsicherheit)_ dan kemanfaatan _(zwechtmassigket)_. Perlu penulis tegaskan, bahwa hanya ada satu sistem hukum yang mencakup ketiga unsur cita hukum dimaksud, yakni Syariat Islam.

Syathibi menyatakan, Allah SWT menurunkan syariat bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan _(jalbul mashalih wa dar’ul mafasid)_, baik di dunia maupun di akhirat. Aturan-aturan hukum tidaklah dibuat untuk syariat itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan. Pendapat ini sejalan dengan Satjipto Rahardjo dalam Teori Progresif yang mengatakan hukum untuk manusia bukan sebaliknya, manusia untuk hukum. Senada dengan Syatibi, Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan, tidak ada satu aturan pun dalam syariat baik dalam al-Qur’an dan as-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.

Lebih lanjut, terdapat lima tujuan dalam _maslahah dharuriyyat_, yaitu untuk menjaga agama _(hifdzud-din)_, menjaga jiwa _(hifdzun-nafs)_, menjaga keturunan _(hifdzun-nasl)_, menjaga akal _(hifdzul-aql)_ dan menjaga harta _(hifdzul-maal)_. Kelima tujuan tersebut ternyata memiliki hubungan yang demikian sistematis dengan kelima sila Pancasila. _Pertama_, menjaga agama adalah membentuk insan yang bertaqwa, taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasulullah SAW dan ulil amri (pemimpin). Hal ini selaras dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. _Kedua_, menjaga jiwa dimaksudkan guna membentuk hukum dan peradaban, termasuk Hak Asasi Manusia yang optimum selaras dengan “Kemanusian yang Adil dan Beradab”. _Ketiga_, menjaga keturunan terkait dengan upaya menjaga dan mempertahankan keberlanjutan “Persatuan Indonesia” dengan semangat _Ukhuwah Islamiyah, Wathoniya_ dan _Insaniyah_. _Keempat_, menjaga akal berkorespondensi dengan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hikmah memiliki banyak pengertian diantaranya, “adil dalam memutuskan sesuatu”, “mengetahui hakikat segala sesuatu dan mengamalkannya”. Dalam al-Qur’an hikmah bermakna “pemahaman” (QS. Maryam: 12), “ilmu dan pengetahuan” (QS. al-An’am: 89) sebagaimana dijelaskan oleh para ahli tafsir. Tanpa adanya hikmah, tidak mungkin kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dapat terwujud. _Kelima_, menjaga harta menunjuk pada “demokrasi ekonomi” dengan cara yang halal agar mendapatkan keberkahan, selaras dengan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Upaya membentuk peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan dan budaya hukum _(akhlaqul karimah)_ yang berdimensi syariah memiliki landasan baik filosofis, teoretis, yuridis, dan sosiologis. Dengan demikian, gagasan mewujudkan “NKRI Bersyariah” melalui politik hukum perundang-undangan terhadap nilai-nilai Syariat Islam dalam sistem hukum nasional secara legal-konstitusional adalah suatu kebutuhan, bukan sebaliknya dilecehkan atau dipertentangkan.

Postulat “Ayat Suci di atas ayat konstitusi” adalah wujud pengakuan setiap muslim atas Rukun Iman, wajib hukumnya untuk “ditaati dan diikuti”. Begitu pun terhadap pemimpin, sepanjang pemimpin tersebut memang “taat kepada Allah dan Rasul-Nya”, maka wajib (imperatif) untuk ditaati dan diikuti. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut tidak taat (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban untuk ditaati dan diikuti (QS. an-Nisa’:59) dan oleh karenanya “oposisi menjadi solusi”.

Kontributor: Faullana

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan