IMPLIKASI HUKUM STATUS NEW NORMAL
Pemerintah selalu menghadirkan kebijakan yang membingungkan dan sekaligus meresahkan masyarakat, dalam hal ini rencana pemberlakuan new normal. Patut dicatat pemberlakuan new normal bukan ‘pelonggaran’ Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melainkan ‘pencabutan’. Tidak ada istilah pelonggaran dalam regulasi PSBB.
Substansi Keputusan dan Surat Edaran Menteri Kesehatan yang ditujukan untuk mendukung keberlangsungan usaha, baik langsung maupun tidak langsung mengarah kepada pencabutan atas PSBB sebagaimana diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Dengan demikian, regulasi Kemenkes bertentangan dengan PP Nomor 21 Tahun 2020. Selain itu, juga bertentangan dengan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 sebagai penetapan status “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Kedaruratan kesehatan masyarakat, sesuai dengan penamaannya bersifat luar biasa. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan pengambilan kebijakan dengan dasar pendekatan ekonomi.
Lebih lanjut, pada Pasal 2 PP Nomor 21 Tahun 2020 disebutkan bahwa penerapan PSBB harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Secara a contrario, pencabutannya juga harus mengacu kepada pendekatan tersebut, khususnya pertimbangan epidemiologis dan penurunan kurva kasus positif Covid-19. Pada kenyataannya, kondisi saat ini menunjukan kurva belum menurun signifikan. Sebagai contoh, di Jakarta setelah empat hari mengalami penurunan, ternyata kembali menaik. Total pasien positif kini sebanyak 6.826 orang atau bertambah 137 orang (27/5/2020). Dengan demikian, status new normal yang diiringi dengan pernyataan “berdamai dengan Covid-19” sangat tidak beralasan. New normal telah mengabaikan faktor risiko kesehatan masyarakat. Probabilitas risiko kesehatan masyarakat demikian tinggi dan mengancam keselamatan jiwa masyarakat secara berkelanjutan. Dengan dibukanya kembali pusat-pusat perbelanjaan, maka itu sama saja dengan memperbesar terjadinya risiko kesehatan masyarakat.
Jika Pemerintah tetap ingin memberlakukan new normal, maka menurut Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, Pemerintah Pusat harus menetapkan pencabutan status Kedaruratan Kesehatan Kesehatan. Tidak bisa tidak, sebab Kedaruratan Kesehatan Masyarakat disebutkan satu kesatuan “menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Mengacu kepada ketentuan ini, dipertanyakan kelonggaran PSBB, khususnya pembukaan kembali pusat perbelanjaan. Begitu pun status “Bencana Nasional” yang diterbitkan melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020 juga harus dicabut. Secara yuridis, sifat “kedaruratan dan kebencanaan” sudah tidak ada lagi dengan adanya pemberlakuan new normal. Dengan kata lain, kedua maklumat tersebut sudah tidak bermakna atau telah kehilangan obyeknya. Tidak hanya itu, keberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kini sudah disahkan menjadi Undang-Undang juga tidak lagi memiliki kekuatan berlaku, baik secara yuridis maupun sosiologis.
Terlepas dari implikasi hukum di atas, tentunya tidak akan mungkin Pemerintah melakukannya. Dikatakan demikian, kepentingan penyelamatan ekonomi memang telah menjadi tujuan utama. Adapun mewabahnya virus Corona hanya menjadi ‘pintu masuk’ terbitnya Perppu a quo dengan alasan adanya “kegentingan yang memaksa.” Patut dicatat, sejak awal telah penulis katakan, bahwa dalil “kegentingan yang memaksa” adalah akal-akalan belaka. Dimaksudkan hanya untuk kepentingan ekonomi. Di sisi lain, maklumat Bencana Nasional mengandung maksud tertentu dan sekarang ini berkorelasi dengan status new normal.
Penulis juga pernah mengatakan ada agenda ‘terselubung’ di balik maklumat itu. Jika kita memperhatikan pentahapan penanggulangan bencana dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana, maka new normal merupakan bagian dari upaya pemulihan pascabencana dengan melakukan upaya rehabilitasi. Sasaran utama rehabilitasi adalah normalisasi. Normalisasi di sini tentunya diarahkan untuk kepentingan ekonomi, termasuk pembukaan kembali pusat-pusat perbelanjaan. Begitu pun penyelenggaraan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan sepertinya memang dimasukan juga ke dalam pengertian pascabencana itu. Pantaslah dalam Keppres 12 Tahun 2020 tidak lagi mencantumkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan sebagai butir mengingat, melainkan diganti dengan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Dikatakan demikian, jika acuannya hanya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tentulah tidak memenuhi syarat. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sangat ‘muskil’ untuk dihubungkan dengan terancamnya perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan kebijakan new normal semakin menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan analogi penanggulangan kebencanaan termasuk bidang ekonomi, padahal diperuntukan untuk bencana alam.
Lebih jauh, dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat kalimat “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Jelas maksud dan tujuannya, ditujukan terhadap terjaminnya keselamatan jiwa rakyat. Pada Pasal 4 huruf a Undang-Undang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa penanggulangan bencana bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Jadi, perihal keselamatan jiwa rakyat harus didahulukan, bukan malah sebaliknya melindungi keberlangsungan usaha di tengah ancaman pandemi ini.
Rakyat selalu dituntut untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan hukum dalam masa pandemi Covid-19, namun sangat disayangkan pemerintah sendiri melakukan pelanggaran hukum. Pemerintah hanya mengejar kepastian penyelamatan ekonomi, namun menanggalkan kepastian mengupayakan keselamatan jiwa rakyat dengan seksama. Dalam banyak hal, pemerintah memang selalu dalam ketidakpastian. Sebagai anotasi akhir, dapat penulis katakan bahwa pernyataan “berdamai dan hidup berdampingan dengan Corona”, bermakna pemerintah menyerah kalah dalam peperangan melawan Corona dan perang itu diserahkan kepada masing-masing individu masyarakat.
Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center)
Jakarta, 28 Mei 2020
No Responses