POLITIK HUKUM NKRI BERSYARIAH DALAM PARADIGMA NEGARA HUKUM PANCASILA
“Dengan demikian, gagasan mewujudkan NKRI Bersyariah melalui politik hukum perundang-undangan terhadap nilai-nilai syariat Islam dalam sistem hukum nasional secara ‘legal-konstitusional’ adalah suatu kebutuhan, bukan sebaliknya dipertentangkan apalagi dilecehkan”.
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Mearindo.com – Keberadaan Negara hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konsepsi rule of law dan rechtsstaat, namun Indonesia tidak secara murni menganut konsep keduanya.
Tegasnya, sistem hukum Indonesia tidak mendasarkan pada salah satunya. Baik sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) maupun Eropa Kontinental (Civil Law System) saling didekatkan guna melengkapi dan mengintegrasikan keduanya.
Sistem hukum Indonesia menerima prinsip kepastian hukum dalam konsep rechtsstaat dan prinsip rasa keadilan dalam rule of law. Hal ini dapat dilihat dari aksiologi hukum yang dianut dalam UUD 1945, pada Pasal 28D dengan frasa “kepastian hukum yang adil”.
Paradigma Negara hukum Indonesia mengacu pada Pancasila, lazim disebut Negara Hukum Pancasila, dengan ciri khas salah satunya dan paling utama adalah menjadikan agama sebagai cara pandang yang fundamental. Hal ini tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Rumusan tersebut mengkonfirmasi bahwa Indonesia menganut paham ‘Negara simbiotik’, bukan ‘sekuler’ dan bukan pula ‘integralistik’.
Pada paham simbiotik tidak ada pemisahan yang ‘rigid’ dan mutlak antara Negara dan agama, keduanya berada dalam hubungan yang ‘harmonis’. Negara harus memberikan jaminan terhadap ‘kebebasan beragama’ (freedom of religion) dan tiada tempat bagi paham ‘ateisme’ atau propaganda anti agama.
Dalam upaya mewujudkan “masyarakat adil dan makmur” sebagai tujuan dan cita-cita nasional, maka ‘pembangunan hukum’ demikian penting dan strategis. Dimensi pembangunan hukum mempunyai makna yang lebih holistik dan fundamental dibandingkan dengan istilah ‘pembinaan hukum’ atau ‘pembaharuan hukum’.
Pembangunan hukum menunjuk pada suatu ‘paradigma’ (model) yang mencakup ‘subtsansi hukum’ (substance), ‘struktur kelembagaan’ (structure) dan ‘budaya hukum’ (culture). Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi.
Pembangunan hukum dalam paradigma Negara simbiotik mengacu kepada konsepsi ajaran agama, dalam hal ini agama Islam. Hal ini sejalan dengan dengan rumusan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yakni “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam” ditujukan kepada kewajiban Negara untuk menjamin tegaknya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa, berbangsa dan bernegara. Keberadaan Piagam Jakarta sepatutnya menjadi cara pandang dalam politik hukum pembangunan nasional.
Keberadaan Piagam Jakarta bukan semata-mata ‘historis’, melainkan ‘futuris’. Kita ketahui bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada alinea kelima menyebutkan “…bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.
Kalimat “menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi” memperteguh keterhubungan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dengan rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, walaupun pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tidak ada kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya”, namun berdasarkan Dekrit Presiden, rumusan Piagam Jakarta tersebut tetap menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
Metode penafsiran historis, teleologis dan sistematis menjadi rujukan pembenaran pendapat tersebut, terlepas tidak diterimanya usulan memasukkan Piagam Jakarta saat amandemen UUD 1945.
Argumentasi tersebut sekaligus membantah pendapat yang mengatakan bahwa mewujudkan NKRI Bersyariah adalah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pendapat demikian sangat ‘kering’ dan jauh dari pendekatan ilmiah. Telah banyak ‘teorisasi’ yang mengakui keberlakuan hukum Islam untuk dapat diterapkan antara lain, Receptio in Complexu (Lodewijk Willem Christian Van Den Berg), Receptie Exit (Hazairin), Receptio a Contrario (Sajuti Thalib), Lingkaran Konsentris (Muhammad Tahir Azhary) dan penulis sendiri merumuskan dalam Teori Solvasisasi (Pelarutan) Hukum.
Teori Solvasisasi Hukum dimaksudkan dalam rangka menjembatani antara penerimaan umat Islam atas hukum Islam dan kedaulatan Negara yang diwujudkan dalam politik hukum. Nilai-nilai maslahat yang terkandung dalam hukum Islam (al-Maqashid Syariah) dilarutkan dalam rumusan peraturan perundang-undangan.
Pelarutan ini tidak berarti nilai-nilai hukum Islam kehilangan maknanya. Sesuatu yang dilarutkan tentu tidak lagi terlihat bentuk aslinya, namun demikian dapat dirasakan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dalam pelarutan hukum Islam dengan hukum positif, diperlukan suatu konsentrasi yakni perbandingan hukum positif dan al-Maqashid Syariah. Oleh karena yang akan dipositifkan adalah al-Maqashid Syariah, maka al-Maqashid Syariah disimbolkan sebagai ‘hukum pelarut’ (solvent), sedangkan hukum positif disimbolkan sebagai ‘hukum terlarut’ (solute). Dapat juga disebut al-Maqashid Syariah sebagai ‘variabel pengaruh’, sedangkan hukum positif sebagai ‘variabel terpengaruh’.
Nilai-nilai mashlahat hukum Islam memilik konsentrasi terbesar, karena sebagai hukum pelarut (solvent). Dalam proses pemberlakuannya tetap memerlukan keberlakuan secara yuridis formal oleh Negara. Secara formil Negara memegang peranan dalam proses ‘pembentukan’ (taqnin), ‘penerapan’ (tathbiq), maupun ‘perubahan’ atau revisinya
(taghyir).
Keberlakuan teori solvasisasi hukum ini sangat efektif dan berdayaguna dalam upaya menjaga ‘kepentingan hukum individu’ (individuale belangen), ‘kepentingan hukum masyarakat’ (sosiale belangen) dan ‘kepentingan hukum negara’ (staats belangen).
Kepentingan hukum itu sangat terkait erat dengan ‘cita hukum’ (rechtsidee) itu sendiri yang mensyaratkan terpenuhinya 3 (tiga) unsur yang selalu menjadi tumpuan
hukum, yakni : ‘keadilan’ (gerechtigkeit), ‘kepastian’ (rechtsicherheit) dan ‘kemanfaatan’ (zwechtmassigket). Perlu penulis tegaskan, bahwa hanya ada satu sistem hukum yang mencakup ketiga unsur cita hukum dimaksud, yakni Hukum Islam.
Syathibi menyatakan Allah SWT menurunkan syariat (aturan hukum) bertujuan untuk menciptakan ‘kemaslahatan’ dan menghindari ‘kemadaratan’ (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid), baik di dunia maupun di akhirat.
Aturan-aturan hukum tidaklah dibuat untuk syariat itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo dengan Teori Progresifnya, yang mengatakan “hukum untuk manusia” bukan sebaliknya, “manusia untuk hukum.” Senada dengan Syatibi, Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan, ”tidak ada satu aturan pun dalam syariat baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan”.
Lebih lanjut, terdapat 5 (lima) tujuan dalam maslahah dharuriyyat, yaitu untuk :
‘menjaga agama’ (hifdzud-din), ‘menjaga jiwa’ (hifdzun-nafs), ‘menjaga keturunan’ (hifdzun-nasl), ‘menjaga akal’ (hifdzul-aql) dan ‘menjaga harta’ (hifdzul-maal). Kelima tujuan tersebut ternyata memiliki hubungan yang demikian sistematis dengan kelima sila Pancasila.
Pertama, menjaga agama adalah membentuk insan yang bertaqwa, taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasulullah SAW dan Ulil Amri (pemimpin) selaras dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, menjaga jiwa dimaksudkan guna membentuk hukum dan peradaban, termasuk Hak Asasi Manusia yang optimum selaras dengan “Kemanusian yang Adil dan Beradab”.
Ketiga, menjaga keturunan terkait dengan upaya menjaga dan mempertahankan keberlanjutan “Persatuan Indonesia” dengan semangat Ukhuwah Islamiyah, Wathoniyah dan Insaniyah.
Keempat, menjaga akal berkorespondensi dengan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hikmah memiliki banyak pengertian diantaranya, “adil dalam memutuskan sesuatu” ,“mengetahui hakikat segala sesuatu dan mengamalkannya”.
Dalam al-Qur’an hikmah bermakna ‘pemahaman’ (QS. Maryam: 12), ‘ilmu dan pengetahuan’ (QS. Al-An’am: 89) sebagaimana dijelaskan oleh para ahli tafsir. Tanpa adanya hikmah, tidak mungkin kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dapat terwujud. Kelima, menjaga harta menunjuk pada ‘demokrasi ekonomi dengan cara yang ‘halal’ agar mendapatkan ‘keberkahan’ sejalan dengan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Upaya membentuk peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan dan budaya hukum (‘akhlaqul karimah’) yang berdimensi syariah memiliki landasan baik ‘filosofis’, ‘teoretis’, ‘yuridis’, dan ‘sosiologis’.
Dengan demikian, gagasan mewujudkan NKRI Bersyariah melalui politik hukum perundang-undangan terhadap nilai-nilai syariat Islam dalam sistem hukum nasional secara ‘legal-konstitusional’ adalah suatu kebutuhan, bukan sebaliknya dipertentangkan apalagi dilecehkan.
Keyakinan terhadap “Ayat Suci di atas Ayat Konstitusi” adalah wujud pengakuan setiap muslim atas ‘Rukun Iman’, wajib hukumnya untuk ditaati dan diikuti. Begitu juga terhadap pemimpin, sepanjang pemimpin tersebut memang “taat kepada Allah dan Rasul-Nya”, maka wajib (imperatif) untuk ditaati dan diikuti. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban untuk ditaati dan diikuti (QS. An-Nisa’:59) dan oleh karenanya ‘oposisi’ menjadi ‘solusi’.
Ditulis oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.2
No Responses