MENIMBANG PENETAPAN TERSANGKA USTADZ BACHTIAR NASIR
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
“Pada setiap proses penegakan hukum, pemenuhan rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan hukum positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Dilihat dari tujuannya, peranan hukum positif adalah sebagai suatu alat (sarana) untuk mewujudkan keadilan agar terwujud kemanfaatan dalam proses pembangunan masyarakat.
Pendapat penulis ini sejalan dengan Roscoe Pound yang mengatakan tujuan hukum ialah sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat (law is tool of social engineering). Namun, tidak dapat dipungkiri, pendapat Roscoe Pound tersebut telah salah ditafsirkan, “tool” kerap kali diartikan sebagai alat untuk kepentingan politik dan oleh karena seringkali kepentingan hukum harus menyesuaikan diri untuk kepentingan politik.”
Dalam penegakan hukum (law enforcement) harus dibuktikan bahwa apakah ada perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu). Kemudian, pada proses bekerjanya hukum harus didasarkan pada kondisi aparat penegak hukum yang harus tegas melaksanakan perintah undang-undang tanpa diskriminasi atau “equal justice under law”.
Kedua hal tersebut sangat prinsipil, termasuk dalam penerapan hukum pada kasus dugaan tindak pidana yang diarahkan kepada ulama dan aktivis akhir-akhir ini. Pada kasus a quo, setidaknya yang perlu dipertanyakan adalah perbuatan pidana yang terjadi apakah telah memenuhi unsur-unsur pidana baik objektif maupun subjektif, dengan daya dukung minimal bukti yang sah.
Sepanjang pengetahuan penulis, terhadap penerapan hukum yang berlaku, terindikasi terjadinya penyalahgunaan penerapan hukum. Preskripsi-preskripsi yang digunakan sebagai premis mayor (dasar hukum), dalam banyak hal telah terlebih dahulu ditentukan premis minornya sebagai perbuatan yang melawan hukum. Kondisi penerapan hukum yang demikian, adalah tindakan penyalahgunaan penerapan hukum atau populer disebut “kriminalisasi”.
Sebagaimana diketahui, Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan tindak pidana asal “mengalihkan aset Yayasan” dengan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 jo Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan atau Pasal 374 KUHP jo Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP atau Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan atau Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 3 dan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebelumnya, terhadap Islahudin dan Adnin Armas juga telah ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan yang sama.
Sebagaimana kita ketahui bahwa obyek pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 2 UU TPPU. Pencucian uang tidaklah berdiri sendiri, kejahatan ini merupakan kejahatan ganda (double crimes), yaitu terdiri dari predicate crime dan follow up crimes (money laundering). Pencucian mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana yang lainnya sebagai tindak pidana asal (predicate crime).
Logikanya adalah bahwa tidak akan terjadi pencucian uang jika tidak ada tindak pidana asalnya, sesuai dengan adagium ”no money laundering without core crime (predicate crime)”. Terhadap semua harta kekayaan – diduga berasal dari hasil kejahatan – yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pencucian uang.
Adapun tahapan proses pencucian uang yang terdiri atas: penempatan (placement), transfering (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration). Pada harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime). Dengan demikian, diketahui bahwa pencucian uang bukanlah tindak pidana tunggal, namun tindak pidana turunan dan yang menjadi dasar adalah adanya tindak pidana asal (predicate crime).
Penetapan status tersangka terhadap UBN dalam perkara dugaan TPPU, menurut kajian penulis termasuk dalam kelompok “kriminalisasi”. Dikatakan demikian, oleh karena tidak adanya tindak pidana asal (predicate crime) yang menjadi pokok perkara. Menjadi pertanyaan, apakah yang menjadi obyek tindak pidana asal dalam sangkaan TPPU kepada UBN? Sumbangan umat Islam pada saat Aksi Bela Islam beberapa tahun yang lalu ditampung oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa – MUI (GNPF-MUI), melalui rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua, yang kemudian dipergunakan untuk berbagai keperluan Aksi Bela Islam. Perihal sumbangan (sedekah) dalam perspektif hukum positif bukanlah termasuk yang berasal dari hasil kejahatan dan oleh karenanya pengalihan yang terjadi juga bukan termasuk perbuatan mengalihkan aset Yayasan (in casu Yayasan Keadilan Untuk Semua) sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana disangkakan.
Penting untuk dipahami, dalam TPPU tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal-usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dalam hubungannya dengan perkara a quo, sama sekali tidak ada unsur menyembunyikan atau menyamarkan atas sumbangan uang dari umat, baik dalam penempatan, transfering maupun menggunakan harta kekayaan Yayasan.
Terlebih lagi, sumbangan yang diterima dan kemudian dipergunakan adalah sah, bukan termasuk perbuatan melawan hukum, dalam artian tidak termasuk tanpa hak, tidak bertentangan dengan kewajibannya, tidak bertentangan dengan hak orang lain atau tidak bertentangan dengan hukum positif.
Ketika seseorang menyumbangkan hartanya, maka seketika itu pula hak kepemilikan beralih kepada penerima. Di sini hukum pidana tidak memiliki domain, sebab telah masuk dalam hukum perdata dan tidak pula ada sifat perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Dalam rezim anti pencucian uang, harta kekayaan sebagai obyek hasil kejahatan, maka yang ditelusuri hanya asal usul hasil kejahatannya (proceeds of crime). Harta kekayaan harus dihubungkan dengan tindak pidana asal (predicate crime). Untuk memastikannya berlaku prinsip “follow the money”, lebih dikenal dengan istilah penelusuran aset atau pelacakan asset (asset tracing).
Suatu penelusuran atau pelacakan aset tidak selalu dalam rangka pengungkapan tindak pidana, tetapi juga dapat semata-mata untuk menemukan aset hasil kejahatan dengan tanpa mengungkapkan kejahatannya. Sepanjang, tidak ada bukti dalam penelusuran aset – yang dilakukan oleh (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPAT) – bahwa harta kekayaan tersebut bukan berasal dari perbuatan ilegal, maka tidak ada perbuatan pencucian uang.
Penerapan sangkaan dugaan pencucian uang dengan tindak pidana asal “mengalihkan aset Yayasan” dengan cara melawan hukum dengan delik penyertaan (Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP) atau pembantuan (Pasal 56 KUHP) sangat tidak beralasan atas hukum. Frasa “harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” dalam Pasal 3 dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU yang menunjuk pada Pasal 2 ayat (1) UU TPPU mempersyaratkan bahwa dalam transaksi keuangan obyeknya adalah harta ilegal (haram).
Adapun uang yang diterima/dikumpulkan oleh Yayasan Keadilan Untuk Semua, adalah uang legal (halal), dan tidak diperuntukkan untuk kepentingan pribadi maupun orang lain. Dengan demikian, unsur obyektif (actus reus) yakni, “menyembunyikan” atau “menyamarkan” asal-usul maupun “menerima” atau “menguasai” tidak terpenuhi sebab obyek transaksi keuangan adalah causa yang legal (halal). Tidak ada fakta hukum terpenuhinya unsur subyektif (mens rea), yaitu knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan intended (bermaksud).
Sepertinya, penerapan hukum terhadap UBN lebih kental nuansa politiknya ketimbang menerapkan hukum dengan berdasarkan aksiologi hukum “kepastian yang adil”. Hasrat politik telah menjadikan penerapan hukum demikian mekanistik sesuai dengan selera. Tidak berlebihan jika dikatakan, “demi kepentingan politik maka kepastian hukum yang berkeadilan dikorbankan.”.
*Penulis adalah Direktur HRS Center dan Ahli Hukum Pidana Aksi Bela Islam.
Kontributor : Faullana
No Responses