“Menggugat Paradigma Positivisme Hukum Bersama” Abd Chair Ramadh
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H
Keberadaan hukum dalam perspektif Negara hukum sangat terkait dengan tujuan hukum yang hendak dicapai. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dimana tujuan sistem hukum mensyaratkan terpenuhinya tiga unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan _(gerechtigkeit)_, kepastian _(rechtsicherheit)_ dan kemanfaatan _(zwechtmassigkeit)_. Keberadaan hukum ditinjau dari perspektif aksiologi hukum (ajaran tentang nilai hukum) dikaitkan dengan tujuan hukum, mengacu kepada aliran-aliran dalam filsafat hukum.
Pertama, aliran Hukum Alam/Kodrat, hukum dipandang berlaku secara universal dan abadi. Dengan demikian, keadilan adalah juga bersifat abadi _(eternal justice)_. Kedua, aliran Positivisme Hukum, sebagai kelanjutan dari ajaran legisme, menunjuk pada nilai kepastian hukum, bersumber dari hukum formal berupa peraturan perundang-undangan yang diwujudkan melalui asas legalitas. Ketiga, aliran Utilitarianisme, yang dianut adalah nilai kepastian hukum diikuti kemanfaatan hukum, sedangkan nilai-nilai keadilan diabaikan.
Keempat, Madzhab Sejarah Hukum, mengadopsi secara simultan aspek aksiologi hukum kemanfaatan dan keadilan. Kelima, aliran _Sociological Jurisprudence_, yang juga mengadopsi secara bersamaan kemanfaatan dan kepastian hukum. Keenam, aliran _Pragmatic Legal Realism_ yang mengacu kepada kemanfaatan. Realisme hukum mengedepankan nilai-nilai pragmatisme.
Menurut UUD 1945, aksiologi hukum disebutkan secara _expressive verbis_, “kepastian hukum yang adil”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1), yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Dapat dikatakan bahwa konstitusi mengikuti aksiologi hukum aliran Hukum Alam/Kodrat dengan mengacu kepada nilai-nilai keadilan yang bersifat mendasar (fundamental) dan aliran Postivisme Hukum dengan mengacu kepada nilai kepastian hukum yang menunjuk pada hukum formal (peraturan perundang – undangan).
Dalam peraturan perundang-undangan baik secara formil _(procedural)_ maupun materil harus mengandung kepastian dan keadilan. Pada keadilan prosedural _(procedural justice)_ diekspresikan dalam penerapan prosedur penyelesaian sengketa atau pengambilan suatu keputusan. Tolok ukurnya adalah “ketaatan” kepada Hukum Acara _(Procedural Justice : It refers to procedureres applied in sttling a dispute or taking a decisions)_.
Pada legal justice diekspresikan keadilan menurut undang-undang dan keadilan ini berkenaan dengan penjatuhan atau pemberian sanksi terhadap peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Tolok ukur legal justice adalah asas legalitas _(Legal Justice : It is justice according to law and is justice which is done or meted out as a result of the application of law. It may be case that the law in question in unjust. The consequency would be that the outcome of the application of such unjust law may not be satisfactory. In other words, it may be regarded as unjust but it still called legal justice)_.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai Negara hukum yang demokratis, Indonesia menganut asas penting dan melekat di dalamnya yaitu: _supremacy of law, equality before the law, dan due process of law._
Dalam penegakan hukum, esensinya adalah pemenuhan rasa keadilan. Keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil atau tidak berat sebelah atau tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan _(justice or fair treatment)_.
Penegakan hukum yang tidak mengindahkan nilai-nilai keadilan, dapat dipastikan akan menimbulkan penyimpangan dan penyalahgunaan dan tentunya akan berimplikasi buruk bagi tatanan sosial di masyarakat.
Secara falsafati, ilmu hukum memandang keadilan sebagai tujuan hukum itu sendiri, dan itu tergantung dengan ideologi Negara yang bersangkutan. Hukum dan ideologi memiliki hubungan timbal balik. Ideologi menentukan produk hukum dan produk hukum akan mengokohkan ideologi. Dalam praktiknya, ada yang menjadikan keadilan sebagai tujuan utama dalam berhukum, dan ada juga yang menomorduakannya, karena alasan demi kepastian dan ketertiban hukum.
Cara berhukum (baca : penegakan hukum) di Indonesia, ternyata lebih cenderung mengedepankan corak positivisme dan oleh karenanya menjauhkan diri nilai-nilai keadilan yang bersifat fundamental, sebagaimana dimaksudkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Padahal ide kepastian hukum yang sering didengung-dengungkan oleh kaum positivistik tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinannya ia hanyalah kepastian undang – undang (legisme).
Kelemahan paham Positivisme Hukum adalah menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum itu sendiri. Dalam ilmu hukum yang dikembangkan kaum positivistik, preskripsi-preskripsi yang digunakan sebagai premis mayor – dalam praktek peradilan lebih dikenali dengan sebutan dasar hukum – akan lebih nyata kalau dibentuk berdasarkan _“a normative judgment”_ daripada berdasarkan hasil simpulan yang diperoleh lewat silogisma induksi.
Positivisme Hukum ini sampai ke Indonesia lewat kepentingan kolonialisme Belanda. Paradigma Positivisme Hukum mempunyai pertalian erat dengan kapitalisme. Positivisme Hukum yang dibawa Belanda digunakan menjustifikasi hukum yang tentu tentunya memberikan jaminan kepastian hukum kepentingan bagi perkembangan (akumulasi, eksploitasi, dan ekspansi) modal. Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak dan Positivisme Hukum seringkali dilihat sebagai aliran hukum yang memisahkan antara hukum dengan moral dan agama, antara _das solen_ dengan _das sein_. Bahkan tidak sedikit pembicaraan terhadap Positivisme Hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kacamata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa _“law is command from the lawgivers”_, hukum itu identik dengan undang-undang.
Positivisme Hukum sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Paradigma positivisme di Indonesia tentunya mempunyai pengaruh bagi keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Paradigma positivisme berpandangan, demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.
Para pelaku penegak hukum mempunyai kecenderungan untuk berpikir secara positivisme atau bahkan legisme. Asas legalitas formil sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengutamakan kepastian hukum _(legal certainty)_ dianggap sebagai satu-satunya titik tolak dalam menegakkan hukum pidana sejak dari penyidikan, penuntutan, hingga pemidanaan dalam proses peradilan pidana Indonesia. Dengan demikian, keadilan yang diperoleh pun semata-mata hanya keadilan formal (prosedural) dan bukan keadilan materiil (substansial) yang mengandung nilai keadilan hakiki atau setidaknya mendekati hakikat keadilan.
Pengaruh positivisme telah menjadikan aparat penegak hukum hanya menegakkan bunyi undang-undang, bukan menegakkan keadilan sebagai substansi dari hukum itu sendiri. Penegakan hukum yang hanya mengejar aspek kepastian belaka hanya mampu diterapkan kepada orang-orang lemah (miskin), namun lemah ketika berhadapan dengan orang kuat.
Baru-baru ini diberitakan warga miskin pencuri kayu di hutan Perhutani Blora Jateng menjadi tersangka pencurian kayu dengan kerugian hanya sebesar Rp.142.912,- Alasan Jasmin mencuri kayu karena kepepet kebutuhan hidup, hanya untuk beli beras. Pada tahun 2015 yang lalu, kasus hukum juga menimpa seorang nenek Asyani (63 tahun) divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp. 500.000,- subsider 1 hari hukuman percobaan. Nenek Asyani divonis bersalah setelah ia didakwa mencuri dua batang pohon jati milik Perhutani untuk dijadikan tempat tidur. Dia membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa batang pohon jati yang ia tebang diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5 (lima) tahun silam.
Begitu pun seorang nenek Minah warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis oleh Majelis Hakim dengan hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan tanpa menjalani kurungan tahanan. Dia didakwa mencuri tiga buah kakao (cokelat) di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan pada tahun 2009 lalu. Nenek tujuh orang anak dan belasan cucu ini hadir tanpa didampingi kuasa hukum. Dia mengaku mengambil 3 buah kakao seharga Rp. 2.000,- untuk dijadikan benih, namun pihak PT. Rumpun Asri Antan mengatakan buah kakao yang diambil tersebut seharga Rp.30.000,- Pada contoh kasus tersebut, terkonfirmasi bahwa Positivisme Hukum tidak mempermasalahkan apakah substansinya adil atau tidak, dan juga tidak mempersoalkan bagaimana implikasi sosio-yuridisnya. Semestinya perkara tersebut tidak perlu dimajukan ke Pengadilan, cukuplah dengan pendekatan kekeluargaan.
Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa dalam konteks Pancasila perlu dikembangkan keadilan bercirikan Indonesia, yaitu “Keadilan Pancasila” yang mengandung makna “keadilan berketuhanan”, “keadilan berkemanusiaan (humanistik)”, “keadilan yang demokratik, nasionalistik, dan berkeadilan sosial”. Ini berarti, keadilan yang ditegakkan bukan sekedar keadilan formal, tetapi keadilan substansial.
Dalam penegakan keadilan substansial dibutuhkan kecerdasan spiritual para aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan, tidak serta merta menerapkan pasal tanpa menemukan maknya yuridis dari peraturan yang bersangkutan.
Dalam kemanusiaan itu sendiri, implisit keadaban dan keadilan. Tidak ada keadilan dan keadaban tanpa kesadaran nilai-nilai kemanusiaan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada penghargaan terhadap kemanusiaan tanpa komitmen pada keadilan dan keadaban. Inilah makna Sila Kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Nilai kemanusiaan berada di atas hukum positif, kemanusiaan merupakan norma yang paling dasar. Pancasila yang berdimensi religius harus menjadi dasar penyelenggaraan berhukum yang benar, adil, dan baik. Penegakan hukum dalam Negara hukum Pancasila harus dipandang sebagai kelanjutan dalam praktik dari cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Muchsin, sebenarnya hukum bukanlah sebagai tujuan tetapi dia hanyalah sebagai alat, yang mempunyai tujuan adalah manusia, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan itu. Senada dengan Muchsin, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Aristoteles mengatakan tujuan hukum itu ialah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat sebanyak – banyaknya, sedangkan Roscoe Pound mengatakan tujuan hukum ialah sebagai alat untuk membangun masyarakat _(law is tool of social engineering)_. Pada akhirnya, hukum juga harus mewujudkan kemanfaatan bagi rakyat. Kemanfaatan ini tentunya bersendikan pada paham Negara Kesejahteraan (welfare state). Hukum harus berfungsi sebagai sarana untuk memberikan kebahagiaan bagi rakyat. Ketika penerapan hukum diselenggarakan dengan pasti dan adil, maka dapat dipastikan dengan sendirinya akan membuahkan kemanfaatan.
Penerapan hukum yang represif terhadap kaum dhuafa yang melakukan pencurian dengan motif mempertahankan hidup tentulah tidak tepat, justru akan menimbulkan kemudharatan (kemelaratan) bagi diri dan keluarganya. Dalam masyarakat modern dengan tipe solidaritas yang organis – sebagai lawan tipe solidaritas mekanis – yang dikedepankan bukanlah sifat represifnya hukum, melainkan sifat restitutif dari hukum. Sifat restitutif hukum menunjuk pada upaya pemulihan hak yang telah dilanggar berdasarkan asas musyawarah (konsensus), jadi tidak harus melulu berupa pemidanaan.
Jakarta, 1 April 2019.
Penulis : Ahli Hukum Pidana & Dosen Tetap (Pengampu mata kuliah Teori Hukum) pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
Redaksi : Faul Lana
No Responses