banner 728x90

Waspada PKI.!!! Pandangan Hukum Perkara Alfian Tanjung PN JAKPUS (ACR Part 3)

Pandangan Hukum Perkara Alfian Tanjung PN JAKPUS Part I disusun oleh: H. Abdul Chair Ramadlan, S.H., M.H, Ahli Hukum Pidana Aksi Bela Islam 212U

Unsur : Dengan Sengaja dan Tanpa Hak

  • Keberlakuan dan penerapan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict.
  • – Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 50/PUU-VI/2008 dalam ratio decidendi, menyatakan :
    “Menimbang bahwa baik DPR maupun Ahli yang diajukan Pemerintah telah menerangkan di depan persidangan Mahkamah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegasml berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalamd UndangUndang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Oleh karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga
    konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 3103 dan Pasal 311 KUHP.” “Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan”.
  • Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) menyebutkan secara expressive verbis “dengan sengaja dan tanpa hak” sebagai unsur delik yang yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum. Penuntut Umum harus mampu membuktikan adanya “kesengajaan dan tanpa hak”. Para ahli sepakat bahwa ketika rumusan kesengajaan disebut dengan sengaja, maka hal itu bermakna kesengajaankmengandung ketiga corak (gradasi) kesengajaan, yakni dengan kesengajaan sebagai maksud (als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis). Untuk Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, berlaku ketiga corak (gradasi) kesengajaan, Penuntut Umum harus mengobyektifkan dan mengkonkritkannya dengan membuktikan kesengajaan yang manakah yang dilakukan oleh Terdakwa. Fakta dipersidangan menunjukkan bahwa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan perihal kesengajaan yang dimaksudkan.
  • Unsur “tanpa hak” merupakan salah satu bentuk melawan hukum. Pada prinsipnya melawan hukum menjadi unsur mutlak dalam perbuatan pidana jika secara eksplisit disebut dalam rumusan delik. Oleh karena Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) menyebutkan secara expressive verbis “tanpa hak” sebagai unsur delik, maka Penuntut Umum berkewajiban membuktikan telah terjadi perbuatan menyebarkan informasi sebagaimana didakwakan yang dilakukan tanpa hak.
  • Frasa “tanpa hak” menunjuk pada suatu informasi yang didapatkan secara tidak sah atau illegal. Berdasarkan fakta yang terungkap di sidang pengadilan, informasi yang didapatkan dan kemudian disampaikan oleh Terdakwa, kesemuanya didasarkan pada informasi yang sah (bukan illegal) dan telah menjadi pemberitaan di media massa, yakni pernyataan Sdri. Ribka Tjiptaning (kader PDI-P).
  • Dalam praktik peradilan, apabila melawan hukum sebagai bestandellen van het delict atau secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana, maka penuntut umum harus mencantumkan dan menguraikannya di dalam dakwaan dan kemudian membuktikannya di persidangan.

Ketidakmampuan penuntut umum untuk membuktikan unsur melawan hukum ini maka konsekuensinya adalah terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan penuntut umum (vrijspraak). Berbeda dengan kedudukan melawan hukum sebagai elementen van het delict. Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana namun melawan hukum sebagai elementen van het delict disyaratakan harus ada dalam setiap tindak pidana. Dalam praktiknya, penuntut umum dalam hal ini tidak perlu mencantumkan dan menguraikannya dalam surat dakwaan dan tidak ada pula kewajiban untuk membuktikannya di persidangan, melainkan Terdakwa-lah yang berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak bersifat melawan hukum. Ketika melawan hukum yang menjadi elementen van het delict tidak ditemui pada perbuatan yang didakwakan maka konsekuensinya terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging).

Unsur : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. – Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 adalah sebagai species delict dari Pasal 310 KUHP (genus delict).

Dengan demikian, dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan haruslah ditujukan terhadap diri seseorang dalam hal ini manusia alamiah (naturlijk person), tidak
termasuk badan hukum (recht person).

Berdasarkan fakta yang terungkap di depan sidang Pengadilan, terbukti tidak adanya seseorang yang merasakan adanya penghinaan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum, dan tidak dapat dibenarkan obyek penghinaan selain dari “manusia perorangan”.

– Menurut R. Soesilo, penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 310 KUHP adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Terhadap penghinaan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita (delik aduan). Obyek dari penghinaan tersebut harus “manusia perseorangan”, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, segolongan penduduk dan lain-lain.

Supaya dapat dihukum menurut ketentuan Pasal 310 KUHP, penghinaan tersebut harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud agar tuduhan itu akan tersiar atau diketahui orang banyak. Perbuatan dimaksud disini adalah perbuatan yang memalukan.

Dakwaan Kedua Primair : Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP
– Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah lex specialis dari Pasal 310 KUHP. Perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.

– Terhadap apa yang dinyatakan oleh Terdakwa adalah dalam rangka membela kepentingan umum dari adanya indikasi kebangkitan ideologi komunisme di Indonesia dengan berbagai bentuknya, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme￾Leninisme.

– Pasal 310 KUHP mensyaratkan adanya perbuatan dengan cara “menuduh” seseorang telah melakukan perbuatan tertentu. Adapun yang dilakukan oleh Terdakwa bukanlah termasuk perbuatan menuduh. Kesemua pernyataan
tersebut didasarkan pada pernyataan (pengakuan) Ribka Tjiptaning pd saat wawancara di stasiun Televisi.

Tegasnya, apa yang dinyatakan Terdakwa
berdasarkan pengakuan kader PDI-P yakni Ribka Tjiptaning. Selain itu, menunjuk kepada kategori korban adalah orang, maka Partai Politik (in casu
PDI-P), tidaklah terpenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan.

Terlebih lagi, Pasal 310 ayat (1) digabungkan dengan ayat (2). Padahal ayat (1) berupa lisan
sedangkan ayat (2) berupa tulisan. Dengan mengacu kepada ketentuan lex specialis derogate lex generalis, berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak dapat lagi diterapkan, sebab
Terdakwa juga didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan sebagai lex specialis.

Dakwaan Subsidair : Pasal 311 ayat (1) KUHP
– Keberlakuan Pasal 311 menujuk kepada Pasal 310 KUHP.

– Penerapan Pasal 311 ayat (1) KUHP, barulah dapat diterapkan apabila Hakim akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh Terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau Terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).

– Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh Hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh Terdakwa itu tidak benar, maka Terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan
Pasal 311 KUHP (memfitnah).

– Berdasarkan fakta yang terungkap di depan sidang Pengadilan, Terdakwa melalui Penasehat Hukum telah mampu membuktikan bahwa apa yang disampaikan adalah termasuk dalam rangka membela kepentingan umum. Terdakwa tidaklah dalam kualifikasi menuduhkan sesuatu yang tidak benar. Dengan demikian, unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP tidaklah terpenuhi.

III. Konklusi
Berdasarkan argumentasi yuridis dan berdasarkan fakta yang terungkap di depan sidang Pengadilan, diketahui tidak terbukti secara sah dan meyakinkan Terdakwa telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, baik dakwaan kesatu maupun dakwaan kedua.

Dengan demikian, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan putusan bebas terhadap Terdakwa.

Pandangan Hukum Perkara Alfian Tanjung PN JAKPUS (ACR Part I)

https://www.mearindo.com/2018/05/pandangan-hukum-perkara-alfian-tanjung-pn-jakpus-acr-part-i.html

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan