banner 728x90

Drs.Abd.Chair Ramadlan Angkat Bicara Pasca Bom 4 Bom Di Jawa Timur

Setelah serangan aksi bom bunuh yang tejadi pada tiga gereja di Surabaya, Minggu pagi tanggal 13 Mei 2018, Masih dihari yang sama kali ini ledakkan kembali terjadi di Jawa Timur sekitar pukul 21. WIB.

Ledakan bom di 3 gereja yang mengakibatkan 11 meninggal dan 41 luka luka, serta bom susulan yang terjadi minggu malam dan dikabarkan mengakibatkan 3 orang meninggal, 2 orang luka itu masih dalam pengamanan jajaran aparat baik dari TNI maupun Polri. Maraknya aksi teroris yang meresahkan masyarakat disikapi oleh DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH. Dosen Pascasarjana FH Universitas Krisnadwipayana.

DERADIKALISASI (COUNTER TERRORISM) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME

*DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.*
(Dosen Pascasarjana FH Universitas Krisnadwipayana)

Aksi teroris yang terjadi secara masif – seringkali mengatasnamakan ajaran agama sedemikian rupa dan menjustifikasi tindakan mereka – sangat terkait dengan perkembangan paham radikal. Tidak dapat dibantah, bahwa terorisme selalu menjadi ancaman, sepanjang paham ideologi radikalisme tumbuh subur dan sepanjang cita-cita perjuangan mereka belum tercapai.

Radikalisme pada dasarnya merupakan fanatisme terhadap suatu keyakinan dan sikap yang tidak mau kompromi dalam mempertahankan keyakinannya. Tidak jarang pelaku memilih kekerasan dalam mempertahankan keyakinannya. Radikalisme juga terkait dengan prinsip, doktrin politik atau perubahan sosial yang mengakar. Radikalisme dalam konteks terakhir tersebut, dimaknai sebagai orientasi politik yang menghendaki adanya perubahan di pemerintahan atau masyarakat secara revolusioner.

Penanganan terorisme sebagai kejahatan luar biasa _(extra ordinary crimes)_ tentunya memerlukan usaha ekstra keras _(extra ordinary efforts)_.

Dewasa ini, perang melawan terorisme mengacu kepada dua strategi yaitu: pertama, _hard power_, yakni dengan melakukan penindakan dan penegakan hukum. Kedua, _soft power_ yaitu mengupayakan _counter terrorism_, berupa pencegahan dan pengendalian terhadap terorisme, kemudian dikenal dengan istilah “deradikalisasi”.

Program deradikalisasi pada dasarnya berangkat dari asumsi bahwa terorisme berawal dari radikalisme. Dengan kata lain, radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Oleh karena itu, upaya memerangi terorisme dipandang lebih efektif melalui deradikalisasi. Esensinya adalah mengubah pemahaman atau pola pikir yang keliru dan menyimpang. Deradikalisasi sebenarnya adalah pembalikan dari proses radikalisasi yang dimulai dari perekrutan, pengidentifikasian diri, dan indoktrinasi. Jadi, proses deradikalisasi dimulai dari identifikasi dan klasifikasi terhadap pelaku teroris, penanganan terpadu dengan pendekatan humanis, pendekatan kejiwaan _(soul approach)_ dan deideologi, multikulturalisme dan kemandirian.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi masih belum berjalan secara optimal, mengingat masih adanya pelaku terorisme berasal dari residivis. Beberapa hal yang menjadi kendala dalam implementasi program deradikalisasi tersebut antara lain, belum adanya _blue print_ yang jelas terkait program deradikalisasi, serta minimnya sumber daya manusia dan sarana-prasarana terkait pelaksanaan program deradikalisasi tersebut.

Indonesia harus melengkapi strategi dan pendekatan yang bertumpu pada _soft power approach_ untuk menghadapi perkembangan terorisme melalui program deradikalisasi, selain penegakan hukum. Strategi ini ditujukan untuk menetralisasi pengaruh ideologi radikal, khususnya yang bersumber pada pemahaman keagamaan yang menyimpang. Penerapan deradikalisasi perlu dan penting untuk diselenggarakan semenjak pada tahap penyidikan hingga tahap pemidanaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan pasca pemidanaan. Dengan demikian, antara tujuan deradikalisasi dengan pemidanaan akan menunjukkan keterpaduan. Program deradikalisasi harus dilakukan secara holistik melalui sejumlah pendekatan, yakni pendekatan agama, pendekatan psikologi, pendekatan pendidikan dan keterampilan.

Program deradikalisasi harus dapat memutus mata rantai terorisme di Indonesia, melalui program reorientasi motivasi, reedukasi, resosialisasi, serta mengupayakan kesejahteraan sosial atau kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang pernah terlibat terorisme, termasuk juga para simpatisan.

Ruang lingkup penyadaran dilakukan melalui pembinaan, dengan sasaran utama merubah sikap dan pemahamannya tentang radikalisme, serta agar dapat keluar dari jaringan ideologi radikal. Pembinaan juga diarahkan untuk dapat menyatukan kembali antara mantan narapidana terorisme dengan masyarakat. Program demikian disebut resosialisasi atau reintegrasi sosial. Tahapan resosialisasi menjadi proses persiapan untuk kembali menjadi warga negara yang baik, serta menerima “Empat Pilar Kebangsaan”, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Narapidana terorisme juga harus diberikan bekal pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian yang ditujukan pada kemampuan narapidana terorisme untuk siap menghadapi masa depannya di luar Lapas.

Pelaku kejahatan terorisme adalah “orang yang sakit”, sehingga membutuhkan perawatan _(treatment) dan perbaikan (rehabilitation)._ Perawatan dan perbaikan tersebut tidak berhenti ketika seseorang narapidana terorisme selesai menjalani pemidanaan, namun terus berlangsung dengan program pendampingan dan kewajiban lapor diri.

Kewajiban lapor diri ini dimaksudkan sebagai bagian dari upaya untuk menjadikan masyarakat terbebas dari penyebaran paham radikalisme. Mantan narapidana terorisme bersama dengan masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan (anti-kriminogen). Melalui kewajiban lapor diri ini, diharapkan dapat menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpatisannya, sehingga meninggalkan paham radikalisme dan menolak setiap bentuk aksi terorisme.

Deradikalisasi pasca pemidanaan hendaknya diwujudkan dengan program kegiatan pengembangan ekonomi melalui kegiatan kewirausahaan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan, sehingga timbul rasa nasionalisme dan mau berpartisipasi sebagai layaknya warga negara Indonesia.

Program pemerintah dalam upaya menggalakan upaya deradikalisasi terorisme, patut untuk didukung, semua komponen masyarakat harus terlibat aktif. Dimaksudkan agar program deradikalisasi dapat menciptakan pencegahan kepada masyarakat luas, baik yang sudah “mengidap virus radikalisme” dan terutama yang belum terkena pengaruh radikalisme. Keberadaan hukum di tengah masyarakat, sebenarnya tidak hanya dapat diartikan sebagai sarana untuk menertibkan kehidupan masyarakat, melainkan juga dijadikan sarana yang mampu mengubah pola pikir dan pola perilaku warga masyarakat. Perubahan kehidupan sosial warga masyarakat yang semakin kompleks, juga mempengaruhi bekerjanya hukum dalam mencapai tujuannya. Dalam hal mengubah pola pikir dan pola perilaku ini diperlukan pelibatan masyarakat sipil agar berperan dan berfungsi membantu pemerintah melalui kegiatan sosialisasi dan edukasi.

Program deradikalisasi adalah program yang dipercaya mampu menanggulangi terorisme, namun membutuhkan komitmen, tenaga, biaya dan waktu untuk menjadikannya mendekati sempurna. Menekan atau bahkan menghapus suatu ideologi radikalisme bukanlah perkara mudah. Berpikir secara radikal mustahil untuk dihalangi, namun bagaimana cara menghilangkan ideologi radikalisme berkembang bebas dan meluas di dalam kehidupan bermasyarakat, dapat dilakukan bersama. Melalui program deradikalisasi, diharapkan para mantan terorisme dapat menjadi mitra aparat penegak hukum dalam rangka menangkal penguatan paham radikalisme dan aksi terorisme. Semoga terwujud *“Indonesia yang damai, bebas dari aksi terorisme.”*

Jakarta, 13 Mei 2018

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan