banner 728x90

PERPU NO. 2 TAHUN 2017 Dinilai Melukai Proses Peradilan Hukum Di Negara Hukum

Dengan berdalih bahwa Undang-Undang (UU) Nomor: 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif, Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 lalu telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Perpu ini mendapat penolakan dari berbagai organisasi masyarakat sebagaimana disampaikan Syifaul Anam, S. PdI selaku Ketua Ormas Orang Indonesia Bersatu dan Ketua Barisan Masyarakat Peduli Rakyat Miskin (BAMPRAM).(28/7/17)

Dalam pernyataanya, Syifaul Anam yang biasa dipanggil Anam itu menegaskan bahwa terbitnya Perpu pengganti UU 17 tahun 2013 itu sangat menciderai proses hukum di Negara Indonesia.

Menurut aktifis berambut gondrong itu, Perpu No. 2 Tahun 2017 ini memberikan peluang seluas-luasnya kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas itu antara lain “menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c Perpu ini.

Anam juga menegaskan bahwa sikap penolakan ormasnya terhadap Perpu ini bukan berarti tidak setuju terhadap pembubaran ormas anti Pancasila dan UUD 1945. Namun semuan semua proses itu harus dilalui dengan proses peradilan.

“Ormas Orang Indonesia sepakat terhadap pembubaran organisasi yang bertentangan Pancasila dan UUD 1945, namun semua harus menggunakan tahapan peradilan karena ini negara hukum.” Tegas Anam

Masih banyak warga masyarakat dan bahkan pimpinan Ormas Islam yang gembira dengan terbitnya Perpu No 2 Tahun 2017. Mereka mengira Perpu ini adalah Perpu tentang Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia.

Padahal Perpu No. 2 Tahun 2017 ini adalah Perpu tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang isinya norma atau aturan tentang berbagai hal tentang organisasi kemasyarakatan. Perpu ini berlaku umum terhadap ormas apun juga di negara kita ini.

Terhadap ormas yang melanggar pasal di atas dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Jadi bisa dikenakan salah satu atau kedua-duanya. Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenkumham sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu ini adalah “pencabutan status badan hukum” oleh Menkumham. Pencabutan status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A Perpu ini sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut.

Semua proses di atas berlangsung cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri ataupun meninta pendapat pihak lain. Tetapi proses pembubaran ormas tersebut dilakukan Menkumham tanpa proses pengadilan. Inilah esensi perbedaan isi Perpu ini dengan UU No. 17 Tahun 2013, yang mewajibkan Menkumham untuk lebih dulu meminta persetujuan pengadilan jika ingin membubarkan ormas. Ormas yang akan dibubarkan itu berhak untuk membela diri di pengadilan.

Dengan Perpu yang baru ini, Menkumham dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini adalah ciri pemerintahan otoriter. Dalam praktiknya nanti, Presiden bisa secara diam-diam memerintahkan Menkumham untuk membubarkan ormas, tanpa Menkumham bisa menolak kemauan Presiden.

“Organisasi yang merupakan perkumpulan resmi adalah sudah memiliki badan hukum berupa akta notaris dan disyahkan dalam lembar pengadilan lebih lebih tercatat dalam kemenkumham, maka tentu proses pembubaranya juga harus melalui proses peradilan.” Ujar Anam

Sementara itu, Anam menambahkan dampak dari Perpu ormas antara lain, selain sanksi administratif seperti pembubaran di atas, anggota ormas yang dibubarkan juga dapat diberi sanksi pidana sebagaimana bunyi nya.

“setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) tadi dapat “dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun” dan dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini diatur dalam Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3). Ketentuan seperti ini sebelumnya tidak ada dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang Ormas. (Lih)

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan