EKSAMINASI TERHADAP PUTUSAN PERKARA HRS: MENYINGKAP TABIR KEBENARAN
EKSAMINASI TERHADAP PUTUSAN PERKARA HRS: MENYINGKAP TABIR KEBENARAN
Bagian 1: Pembahasan Interpretasi
Jakarta 29 Agustus 2021,
Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H
Interpretasi demikian penting untuk dilakukan dan pastinya berhubungan dengan kasus hukum terlebih lagi peraturan perundang-undangan. Begitu juga dalam kepentingan eksaminasi yang dilakukan oleh HRS Center terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 225/Pid.Sus/2021/PN Jkt.Tim (perkara RS UMMI). Pengadilan telah menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun kepada Habib Rizieq Syihab (HRS). Putusan tersebut sejalan dengan dakwaan alternatif pertama primair Penuntut Umum, yakni Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sesuai dengan topik pembahasan, ditemui adanya kesalahan/kekeliruan Judex Factie Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam hal penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pertama, Judex Factie tidak menggunakan interpretasi historis dan ini cukup signifikan. Ditinjau dari pendekatan sejarah hukumnya, politik hukum pemberlakuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum negara (staatsbelangen) dari adanya perbuatan penyiaran berita atau pemberitahuan bohong yang mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang baru saja berdiri. Sejarah menyebutkan, sebelum Undang-Undang a quo diterbitkan, Jakarta sebagai Ibukota tidak kondusif dan oleh karenanya dipindahkan ke Yogyakarta. Kedatangan Belanda/NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang membonceng Sekutu (Inggris) guna mengembalikan kekuasaannya. Pemberitaan Soekarno sebagai kolaborator Jepang demikian masif. Seiring dengan itu, banyak terjadi teror kepada para pemimpin bangsa Indonesia, termasuk kepada Soekarno-Hatta, Syahrir, dan lain-lain. Terlebih lagi, terjadi pemberontakan PRRI/Permesta. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana – yang pada awalnya berlaku untuk wilayah Pulau Jawa dan Madura – diberlakukan juga untuk Provinsi Sumatera melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1946 tentang Penetapan Hari Mulai Berlakunya Hukum Pidana Untuk Daerah Propinsi Sumatera. Kemudian dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan demikian, keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bukan ditujukan untuk kepentingan hukum individu (individuale belangen) dan kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen), akan tetapi untuk kepentingan hukum negara.
Kedua, Judex Factie telah pula salah/keliru dengan tidak digunakannya interpretasi futuristik/antisipatif guna menilai penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Padahal Undang-Undang a quo termasuk yang dihapuskan dalam Rancangan KUHP Tahun 2019. Hal itu disebutkan dalam Pasal 626 Ayat 1 huruf a Rancangan KUHP Tahun 2019. Seharusnya dengan interpretasi futuristik/antisipatif itu, Judex Factie menolak dakwaan pertama, primair: Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana, subsidair: Pasal 14 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana dan lebih subsidair: Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Kesalahan/kekeliruan pada yang tersebut belakangan ini adalah fatal. (Bersambung).
Kontributor : Syifaul Anam
No Responses