banner 728x90

AMANDEMEN KONSTITUSI TENTANG MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PILAR POSISI DOMINAN

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. – Direktur HRS Center, Ketua Dewan Pakar Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) dan Ahli Hukum Pidana.

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Jakarta, Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didahului dengan adanya keinginan untuk mewadahi Pokok-Pokok Haluan Negara. Sementara itu, proses amandemen konstitusi adalah proses politik yang begitu dinamis di antara partai-partai dan senator di parlemen. Dengan demikian, tidak ada jaminan pembahasannya tidak melebar selain dari pada Pokok-Pokok Haluan Negara. Ada kekhawatiran ketika pintu amandemen terbuka, maka seiring dengan itu terbuka kotak pandora untuk melakukan amandemen yang lain yakni memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin hingga tahun 2024, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi tiga periode dan terdapat pula wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui Majelis Persmusyawaratan Rakyat.

Menurut penulis terdapat lima varian amendemen terkait masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin sampai tahun 2027. Jika memang masa jabatan diperpanjang tiga tahun, maka hal yang sama juga berlaku bagi anggota DPR dan DPD. Kedua, jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi tiga periode, dengan tetap masa jabatannya lima tahun pada setiap periodenya. Ketiga, jabatan Presiden dan Wakil Presiden tetap dua periode, namun ada penambahan masa jabatannya menjadi delapan tahun. Dalam kondisi demikian, masa jabatan anggota parlemen juga menjadi delapan tahun. Keempat, kombinasi antara varian pertama dan kedua. Kelima, kombinasi varian pertama dan ketiga. Dari kelima varian tersebut, sepertinya pilihan jatuh pada memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin sampai tahun 2027 dan penambahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi delapan tahun dalam dua periode. Kesemuanya itu tergantung negosiasi politik diantara para elite dan itu tidak lepas dari tawar menawar yang sifatnya pragmatis. Bicara politik selalu mengandung pertanyaan “who gets what and when”.

Kita memahami bahwa politik transaksional demikian menguat khususnya mendekati tahun politik. Ambisi kekuasaan semakin tampak, oligarki politik bertemu dengan oligarki ekonomi untuk satu target yang sama yakni posisi dominan dalam Pilpres. Persoalannya, posisi dominan cenderung menjadikan salah satu kontestan tidak memiliki pesaing yang berarti. Ketika terjadi perpanjangan dan/atau penambahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka itu akan berkorelasi dengan posisi dominan. Sebagai catatan, dengan bergabungnya PAN, koalisi Jokowi kini menguasai 471 dari 575 kursi atau sekitar 82 persen kursi di DPR. Untuk mengusulkan dan memberikan persetujuan amandemen konstitusi di MPR angka tersebut sudah lebih dari cukup.  Semakin gemuknya koalisi Jokowi akan berimplikasi semakin menguatnya posisi dominan guna menghadapi Pilpres yang akan datang.

Posisi dominan akan menjadikan persaingan yang tidak sehat (unfair competition) dan tidak adil dalam penyelenggaraan Pilpres. Posisi dominan sangat berpotensi terjadinya kecurangan (fraud) dalam Pilpres dengan tindakan terstruktur dan sistemik. Calon yang memiliki posisi dominan sangat memungkinkan melakukan perbuatan anti-persaingan. Melalui posisi dominan yang bersangkutan akan menguasai berbagai sumberdaya baik secara vertikal maupun horizontal atau dari hulu hingga hilir (upstream– downstream). Demikian itu tidak dimiliki oleh pesaing. Pemusatan atau penguasaan sumber daya tersebut lazimnya didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal.

Dapat dikatakan, penguatan koalisi hari ini dimaksudkan guna posisi dominan saat Pilpres. Amandemen konstitusi tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan berbagai variannya menjadi pilar posisi dominan. Disisi lain koalisi yang melahirkan posisi dominan akan semakin menutup kemampuan presidential threshold 20%. Bukan hal yang mustahil pada Pilpres yang akan datang akan muncul “Calon Tunggal”, sepanjang hanya tinggal PKS dan Demokrat di luar koalisi. Perolehan suara partai untuk PKS dan Demokrat pada Pemilu tahun 2019 tidak lebih dari 16%.

Pada akhirnya, kedaulatan rakyat yang diwujudkan dengan “electoral system” guna pengisian jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected official) telah tergantikan dengan kaum oligarki.

Jakarta, 30 Agustus 2021.
Kontributor : Syifaul Anam

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan