Pendidikan Urgen Bagi Kaum Milenial
Jawatimur – Magetan – Mearindo – Selamat – sejahtera, kepada para guru yang telah ikhlas mengabdikan seluruh waktunya, memeras keringat demi secercah harapan menitipkan ilmu kepada generasi muda agar jauh lebih baik untuk memimpin Indonesia dimasa yang akan datang.
Meskipun di hari guru yang bertepatan dengan tanggal 25 November 2021 beberapa hari lalu, masih banyak para punggawa pendidikan dipelosok negeri yang telah berpuluh-tahun lamanya, mencurahkan segala daya dan upaya terbaik demi peserta didiknya, namun belum mendapatkan perhatian yang layak dan sesuai harapan dari Pemerintah. ungkap Hanif Ikhsani, Mpd (Kabid Dakwah PDPM Magetan) saat ditemui Mearindo.com di sela kegiatan rutinya di Mts Poncol, Selasa (30/11/2021).
“Memasuki abad ke-21, pendidikan ditanah air tentu berbeda jauh dengan kondisi yang ada pada abad era sebelumnya. Dimana globalisasi yang sudah jauh hari berlangsung dan terus berjalan mewarnai dinamika pendidikan di negeri ini, serta turut menyeret pelajar yang disebut sebagai kaum milenial kedalam arus utamanya.” terangnya
Lebih lanjut, Hanif menyampaikan, bila kita melihat perkembangan generasi muda yang dimiliki oleh bangsa Indonesia kini, tidak sedikit telah menunjukan gejala-gejala yang mengarah kepada bentukan budaya yang cenderung negative. dimana Generasi milenial dengan latar perkembangan globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi, telah melahirkan sebuah kehidupan yang tidak bisa lepas dari media social.
“Hari-hari kaum milenial disibukan dengan percakapan dan pertemanan semu yang terjadi didunia maya. Tentu ada sisi positif dari kemajuan teknologi bagi yang pandai memanfaatkannya.Akan tetapi, yang terjadi hari ini jika kita menilik aktifitas kaum milenial termasuk para pelajar dalam interaksi didalam social media, akan didapati sebuah suguhan yang berlawanan dengan realita yang sebenaranya.”
Setidaknya bisa kita dapati melalui platform Youtube, Instagram, tiktok dan media social lainnya yang serumpun. Menjadi sebuah budaya baru bahwa kaum milenial melalui platform social media tersebut telah menjadikannya sebagai sarana untuk menampilkan keunggulan yang bersifat material dan fisik kepada khalayak umum.
“Kaum milenial sangat bersemangat untuk mengekspose dirinya dalam segala akitifitasnya, walaupun sejatinya aktifitas tersebut tak jarang dibuat untuk tuntutan popularitas dalam bermedia social. Tentang selera makan, fashion, life style, berjoget ala tiktok bahkan hal-hal remeh temeh yang bertujuan agar mengundang perhatian publik tertuju padanya.”
Bahkan tidak jarang, mereka memaksakan diri untuk tampil dan berada dalam kondisi yang serba sempurna meskipun faktanya tidak senyata itu. Bahkan ada juga sebagian kaum milenial yang secara sengaja menampilkan kesempurnaan materi yang memang melekat pada dirinya dan menganggap bahwa itulah makna titik puncak pencapaian hidup.
Anehnya, tayangan-tayangan hedonis yang banyak muncul semacam ini juga mendapat sambutan yang luar biasa oleh para penikmat tayangannya, terbukti dengan tranding teratas pada platform media yang ada di di Indonesia.
Belum lagi, melalui salah satu platform video yang berdurasi singkat, tiktok seringkali dijadikan untuk ajang mengatasnakaman “ekspresi diri”. Menumpahkan segala bentuk keinginan bahkan tayangan ektsrem termasuk pornografi. Tidak lain bila dilihat keinginannya hanya satu, popularitas.
“Kondisi tersebut diperparah dengan sarana sosial media yang bebas tanpa filter membuka lebar ruang komunikasi yang kasar, seronok, serta hal negative lainnya.
Inilah realita yang terjadi atas kondisi kaum milenial yang kita dapati pada kamar sosial media mereka masing-masing. Kaum milenial telah terlena pada kewajiban tuntutan memikirkan masa depan dengan membangun karakter diri dan kemampuannya, apalagi untuk sekedar tegak dan dan bergema dikancah dunia.”
Mereka kini dihadapkan pada godaan popularitas hedonis yang semu, yang akan menjebak mereka dalam dunia yang palsu dan kebahagiaan yang bersifat sementara. Kekhawatiran berikutnya setelah paradigma milenial tercemar dengan romansa popularitas hedonis, mereka akan tercebur pada perilaku dan bertutur kata yang miskin etika karena kebiasaan yang lose control sebagaimana keseharianya didunia maya.
Akibatnya, “mereka akan tumbuh menjadi generasi rapuh secara spiritual, intelektual. Budaya-budaya tak kasat mata kaum mileneal tersebut menjadi tantangan berat bagi pendidik saat ini. Para pendidik harus segera tersadar akan dampak budaya baru yang digandrungi milenial dan segera membuat langkah yang tepat dalam mendidik. Sebelum para pelajar kaum milenial siuman dan baru sadar telah kehilangan segalanya. Tantangan tersebut makin berat dalam situasi ditengah keterbatasan seperti sekarang ini.”
Oleh karenanya, menurut penulis pendidikan adab dan kesederhanaan perlu mendapat perhatian yang serius dan dicanangkan oleh para pendidik kepada generasi milenal yang berstatus sebagai pelajar. Adab akhlak yang mulia. Selanjutnya, sikap kesederhanaan perlu di tanamkan kepada generasi milenial sebagai lawan dari gaya hidup yang glamour dekat dengan berlebih – lebihan dan cenderung boros.
“Sederhana bukan berarti hidup berkekurangan, akan tetapi sederhana seperti yang di ajarkan Nabi Agung Muhammad SAW adalah pilihan sikap untuk tampil biasa dalam keseharian. meski dia berkecukupan dan bahkan berlimpah harta benda namun tidak lantas membuatnya untuk mengekspos apa yang menjadi miliknya,”
Di sisi lain, kesan pertama seorang guru menjadi satu poin penting tersendiri. Belajar dari kegandrungan tiktok yang singkat itu, memaksa generasi milenial untuk perhatian dan fokus pada sesuatu pada beberapa detik pertama. Maka pesan singkatnya kepada pendidik harus pandai-pandai mengirimkan pesan kepada peserta didiknya dengan singkat namun menarik perhatian mereka.
Kemampuan fokus inilah yang perlu disadari, bila tidak mungkin kesempatan mendidik generasi milenial akan terlewat. Melalui pendidikan adab dan kesederhanaan inilah, salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh pendidik untuk membendung hasrat generasi milenial untuk selalu tampil serba hedonis dengan harapan popularitas yang semu semata.
Hanif menambahkan, “semoga pekerjaan berat pendidik ini diimbangi dengan perhatian yang adil atas kesejahteraannya. Karena urusan mendidik, adalah urusan membina nalar bangsa.” tutupnya (G.Tik)
No Responses