VALIDITAS BARANG BUKTI PETAMBURAN
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Ahli Hukum Pidana)
Jakarta, 1 Mei 2021, Persoalan mendasar dalam penerapan hukum pidana (law enforcement) adalah menyangkut pembuktian dan guna pemenuhan unsur tindak pidana. Pembuktian dimaksud adalah keterhubungan antara alat bukti dengan barang bukti. Pemenuhan unsur tindak pidana baik perbuatan maupun kesalahan harus didukung dengan minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menunjuk Pasal 184 KUHAP.
Pada awalnya, minimal dua alat bukti digunakan untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan guna menentukan dapat atau tidaknya seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Kepatutan dugaan ini menunjuk pada relevansi antara alat bukti dengan perbuatan dan kesalahan. Demikian itu diharapkan akan membuat terang tindak pidana yang terjadi untuk kemudian disangkakan kepada pelaku sesuai dengan rumusan undang-undang pidana. Dapat dikatakan penyidikan merupakan suatu rangkaian proses guna menemukan adanya perbuatan yang secara faktual telah memenuhi unsur tindak pidana (factual guilt) dan oleh karenanya dimintakan pertanggungjawaban pidana (legal guilt) kepada pelaku delik. Kesemuanya itu, pada akhirnya harus dibuktikan di muka Pengadilan oleh penuntut umum dengan konkrit dan objektif.
Terkait dengan barang bukti (in casu bahan baku peledak) yang kemudian dikaitkan dengan Munarman dan FPI menimbulkan pertanyaan penting, yakni menyangkut validitas dan relevansinya dengan alat bukti. Selama ini banyak terjadi pemahaman yang salah, mempersamakan antara barang bukti dengan alat bukti. Alat bukti bukan dan tidak termasuk barang bukti, jadi barang bukti berbeda dengan alat bukti. Barang bukti tidak boleh dipersamakan dengan alat bukti petunjuk. Petunjuk sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP menunjuk pada otoritas hakim. Sangat berbahaya memperoleh petunjuk dari barang bukti. Dikatakan demikian oleh karena barang bukti dianggap kurang objektif. Dikhawatirkan adanya pandangan subjektif menyimpulkan barang bukti sebagai petunjuk guna penentuan status tersangka.
Perlu dipahami bahwa terdapat klasifikasi barang bukti yakni corpora delicti dan intrumenta delicti. Pada yang tersebut pertama adalah barang yang menjadi sasaran atau hasil tindak pidana. Pada yang tersebut belakangan menunjuk barang yang digunakan untuk tindak pidana. Intrumenta delicti – sesuai dengan penamaannya – termasuk didalamnya benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; atau benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Barang bukti tidak berdiri sendiri, keberadaannya memerlukan alat bukti. Tegasnya, kedudukan barang bukti adalah pendukung bagi alat-alat bukti sebagai tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Penilaian barang bukti harus secara objektif untuk kemudian dihubungkan dengan alat bukti. Barang bukti akan menjadi tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh alat bukti (in casu keterangan saksi).
Klaim barang bukti bahan baku peledak di Petamburan tidaklah berdiri sendiri. Terlalu prematur menyimpulkannya sebagai intrumenta delicti, khususnya sebagai benda yang dipersiapkan, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana atau dimaksudkan sebagai benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dan paling menentukan dalam upaya pembuktian suatu perkara pidana. Alat bukti keterangan saksi menerangkan lebih lanjut barang bukti. Disini dipertanyakan adakah saksi yang mampu menerangkan temuan Densus 88 Antiteror – saat menggeledah eks kantor FPI di Petamburan – adalah memang benar sebagai bahan baku peledak dan akan digunakan atau terkait dengan tindakan terorisme? Pihak Polri menegaskan barang yang ditemukan tersebut adalah bahan kimia yang berpotensi digunakan untuk pembuatan bahan baku peledak, sebagaimana hasil identifikasi yang dilakukan oleh tim Puslabfor. Sampai saat ini belum diketahui adanya saksi yang qualified guna menjelaskan keberadaan barang bukti dimaksud terkait dengan penangkapan Munarman dan tindakan terorisme. Sepertinya hasil identifikasi tim Puslabfor tersebut diarahkan sebagai alat bukti keterangan ahli dan dengannya diperoleh petunjuk dari barang bukti tersebut.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan lima macam alat bukti yang sah, yakni: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dengan demikian alat bukti yang dibenarkan serta mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian diluar jenis alat bukti yang disebutkan pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP sama sekali tidak mempunyai nilai dan sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, diluar dari alat-alat bukti tersebut, tidak dapat dibenarkan menggunakan yang selainnya untuk menentukan adanya kesalahan seseorang. Kesalahan sebagai kondisi sikap batin merupakan unsur delik dan oleh karenanya harus dipenuhi dalam tahap penyidikan. Pada prinsipnya kesemua alat bukti tersebut memiliki nilai yang sama dan juga sama pentingnya. Namun tidak dapat dibenarkan lebih mendahulukan dan mengutamakan keterangan ahli ketimbang saksi, apalagi menggunakan petunjuk. Petunjuk bukan otoritas penyidik dan termasuk penuntut umum, melainkan ‘hak milik’ hakim.
Dari uraian diatas penulis tidak yakin adanya keterhubungan sama sekali antara barang bukti a quo dengan keterlibatan Munarman dan termasuk pula FPI. Sangat disayangkan telah terjadi penggiringan opini secara meluas, berkelanjutan dan sistemik yang mengaitkan Munarman dan FPI dengan ISIS hanya semata-mata berdasarkan barang bukti a quo. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) semakin tidak berdaya menghadapi viralisasi sepihak dan sesat. Kondisi demikian merugikan kepentingan hukum Munarman dan termasuk FPI. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan pembanding berdasarkan pendekatan yuridis-teoretis. Jadi, tidak ada maksud dan kepentingan apa pun dalam tulisan ini. Penulis menganggap penting tulisan ini dipublikasikan dengan maksud turut menjaga kepentingan hukum. Demikian itu adalah penting.
Redaksi : Sifaul anam
No Responses