banner 728x90

Viral Isu PKI Jelang 1 Juni

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. – Direktur HRS Center, Ketua Dewan Pakar Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) dan Ahli Hukum Pidana.

Jakarta, 29 Mei 2020
Dalam beberapa hari terakhir ini dan mungkin beberapa hari ke depan viralnya soal PKI dengan kebangkitan paham komunisme akan terus mewarnai media, khususnya media sosial. Lazimnya pemberitaan tersebut menjelang 30 September yang kita kenal dengan penghianatan G30S/PKI. Tidak dapat dipungkiri, faktor pemicunya adalah pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sebagai usul inisiatif DPR, pembahasan RUU HIP dipandang tergesa-gesa, terlebih lagi di saat pandemi virus Corona. Usul inisiatif itu pun dipertanyakan, mengingat substansi inti RUU HIP mengacu kepada hasil kajian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang berujudul “Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila”, tahun 2019.

Sejalan dengan itu, kita ketahui tanggal 1Juni 1945 telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai hari lahir Pancasila melalui Keppres Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Ini pun menimbulkan polemik di masyarakat. Sejatinya, Pancasila sebagai “dasar negara” ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Kelima sila Pancasila ditempatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Adapun alinea pertama memuat pandangan filsafati tentang kemerdekaan dan penjajahan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Pancasila itu adalah pandangan hidup (falsafah) dan dasar negara. Oleh karena itu, nomenklatur “Ideologi” tentu tidak tepat. Terhadap hal ini telah banyak kajian-kajian otoritatif. Dapat dikatakan, penetapan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila adalah a-historis. Dengan demikian pembahasan RUU HIP dan peringatan hari lahir Pancasila menjadi pendorong menguatnya viralisasi soal PKI. Alasan mendasar yang dapat ditangkap adalah adanya kekhawatiran akan bangkitnya kembali paham Komunis/Marxisme-Leninisme dengan paradigma baru, terlebih lagi komunis kini hadir dengan ‘baju’ liberalis.

Lebih lanjut, dalam RUU HIP tidak mencantumkan TAP Nomor XXV//MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Organisasi Terlarang PKI Dan Larangan Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dalam konsiderannya. Ketiadaan pencantuman tersebut semakin memicu penolakan dan menguatnya pemberitaan di medsos. Ditambah lagi, RUU HIP mengikuti logika Bung Karno dalam memahami Pancasila, dengan diperasnya Pancasila menjadi Trisila selanjutnya menjadi Ekasila sebagaimana disampaikan saat sidang pembahasan dasar negara BPUPKI. Trisila menunjuk pada sosio-nasionalisme, socio-democratie dan Ketuhanan yang menghormati satu sama lain, adapun Ekasila yaitu gotong-royong. Padahal pendapat tersebut tidak menjadi keputusan BPUPKI dan oleh karenanya tidak layak diterapkan dalam RUU HIP.

Bagi kalangan Ulama dan Cendekiawan, kekhawatiran akan kebangkitan kembali paham komunisme dalam RUU HIP selain ketiadaan TAP Nomor XXV//MPRS/1966 juga menunjuk pada menguatnya paham sekularisme dan paham “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Pada Pasal 6 ayat 1 RUU HIP, disebutkan “Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial”, padahal sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjiwai sila-sila berikutnya. Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Paham Ketuhanan yang berkebudayaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP, sangat merisaukan. Paham ini mengambil pendapat Bung Karno saat sidang BPUPKI, “segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama”. Paham Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Di sisi lain, paham sekularime terkait dengan pemikiran liberal yang berkembang demikian masif. Keberadaannya tidak lepas dari pemikiran Christian Snouck Hurgronje dengan teori “receptie.” Teori receptie menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Dapat dipahami bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat, karena hukum adat sebagai variabel penentu. Padahal Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Agama Islam mengakui budaya sepanjang budaya dimaksud tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Dalam rumusan RUU HIP peranan agama tidak lagi menjadi dominan dalam pembangunan nasional, lebih diarahkan kepada mental dan spiritual. Pembangunan Agama hanya menjadi sub-bidang, ini dapat terlihat dalam Pasal 22 huruf a jo Pasal 23 huruf a. Di sebutkan bahwa agama – yang disandingkan dengan rohani dan kebudayaan – sebagai bidang-bidang Pembangunan Nasional, namun peruntukannya sebagai “pembentuk mental dan karakter bangsa”. Dimasukannya bidang mental, tentu terhubung dengan “revolusi mental” yang digagas oleh Presiden Jokowi. Revolusi mental itu sendiri mirip dengan “revolusi kebudayaan” ala Mao Zedong. Dalam Islam yang dikenal adalah akhlak, bukan mental. Lebih lanjut, Pasa Pasal 23 huruf e, disebutkan adanya pembinaan atas rumah-rumah ibadah dan lembaga-lembaga keagamaan. Dimaksudkan untuk membangun kesadaran toleransi dan kerja sama antara umat beragama dalam semangat gotongroyong. Frasa “semangat gotongroyong” adalah menunjuk pada konsep Eka sila yang terkait dengan paham Ketuhanan yang berkebudayaan. Pembinaan negara itu harus dikritisi, sebab sangat rentan terjadinya penyelewengan berupa tindakan persekusi dan kriminalisasi.

Dapat disimpulkan, akumulasi kekhawatiran masyarakat menunjuk pada eksistensi Pancasila itu sendiri dan masa depan NKRI. Apabila RUU HIP ini disahkan menjadi undang-undang, maka keberadaan Pancasila akan tereduksi dengan tafsir sepihak pemerintah, sebagaimana berlaku pada masa-masa sebelumnya. Sejalan dengan hal ini, Suteki mengatakan, “Pancasila secara hakikat sudah tidak ada dan akan berakhir pada kembalinya ideologi Sosialisme-Komunisme”. Menjadi sangat beralasan tingginya penolakan masyarakat terhadap RUU a quo dan dengannya mendorong viralnya soal PKI di berbagai media. Kesemuanya itu, merupakan wujud kepedulian sebagai anak bangsa yang tidak melupakan sejarah kelam penghianatan PKI terhadap Pancasila dan NKRI. Demikian, semoga bermanfaat.

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.*
(Direktur HRS Center)

Kontributor : Faullana

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan