banner 728x90

PENYELUNDUPAN HUKUM DALAM TIM ASISTENSI HUKUM KEMENKOPOLHUKAM

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

Istilah “penyelundupan hukum” menunjuk pada perbuatan hukum yang bersifat “penyamaran” (berkedok), terkait terbitnya Keputusan Menko Polhukam Nomor 38 Tahun 2019 tentang Asistensi Hukum Kemenkopolhukam, yang menjadi dasar pembentukan Tim Asistensi Hukum. Sebagaimana diketahui Tim Asistensi Hukum memiliki tugas “melakukan kajian dan asistensi hukum terkait ucapan dan tindakan yang melanggar hukum pasca Pemilihan Umum serentak tahun 2019 untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum”.

Penugasan tersebut telah berseberangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di sisi lain butir mengingat yang utama dan pertama Keputusan Menko Polhukam menunjuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Tugas Tim Asistensi Hukum tersebut sangat terkait dengan fungsi penyelidikan dan penyidikan, sebagai tahap awal bekerjanya Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Penyelidikan dan penyidikan pada prinsipnya merupakan satu kesatuan yang utuh, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya, ibarat “dua sisi mata uang yang sama”. Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP, tepatnya pada Bab IV Bagian Kesatu Penyelidik dan Penyidik. Penyelidik berada dibawah koordinasi Penyidik, sebagaimana disebutkan pada Pasal 5 ayat (2) KUHAP, “Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada Penyidik.” Adapun perbedaan antara penyelidikan dengan penyidikan,
sebagai berikut :

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHAP)”.

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2).”

Melihat rumusan tugas Tim Asistensi Hukum dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP, maka dapat dikatakan bahwa Tim Asistensi Hukum bekerja 2 sebagaimana layaknya fungsi penyelidikan. Frasa “untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum”, adalah sejalan dengan frasa “guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.”

Penyelidikan adalah entry point penegakan hukum oleh Kepolisian, yang bertujuan untuk memastikan apakah suatu peristiwa atau perbuatan merupakan perbuatan pidana. Untuk kemudian dilakukan tindakan penyidikan sebagai suatu rangkaian kegiatan dari Penyidik untuk mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, sehingga terang tindak pidananya dan sekaligus dapat ditentukan tersangkanya.

Keberadaan Keputusan Menteri memang diakui sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Terkait dengan hal ini, dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, Dan Keamanan yang juga menjadi butir mengingat keputusan Menko Polhukam, ternyata tidak ada klausula yang menjadi dasar hukum pembentukan Tim Asistensi Hukum dalam upaya penegakan hukum. Terlebih lagi, baik penyelidikan maupun penyidikan harus mengacu kepada ketentuan KUHAP.

Disebutkan secara jelas dan tegas “menurut cara yang yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP)”. Jadi tidak dibolehkan ada pengaturan lain yang menyimpang dari KUHAP, kecuali undang-undang yang bersifat lex specialis.
Keputusan Menko Polhukam tidak memenuhi asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, didalikan sebagai berikut:

Pertama, bahwa Keputusan Menko Polhukam tidak memiliki kejelasan tujuan dan mengandung ketidakjelasan rumusan. Frasa “penegakan hukum” memiliki pengertian yang luas. Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.

Adapun unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum adalah unsur pembuatan undang-undang (in casu lembaga legislatif), unsur penegakan hukum (in casu Polisi, Jaksa dan Hakim, dan unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial (Satjipto Rahardjo:1983).

Deskripsi penugasan Tim Asistensi Hukum telah nyata mengambil alih peran Penyelidik Kepolisian dan juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) terkait dengan penegakan hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang 3 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Secara sosiologis, Keputusan Menko Polhukam telah menimbulkan polemik dan keresahan di masyarakat dan bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa keberadaan Tim Asistensi Hukum memiliki karakter intervensi terhadap penegakan hukum. Penegakan hukum diseret ke ranah politik. Pemerintah mendayagunakan pendekatan politik kekuasaan untuk intervensi hukum.

Kedua, bahwa Keputusan Menko Polhukam tidak memiliki kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dengan peraturan diatasnya yakni Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, Dan Keamanan.

Dikatakan demikian, oleh karena yang menjadi tugas Kemenko Polhukam sebatas penyelenggaraan fungsi koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang politik, hukum, dan keamanan. Tidak dimungkinkan turut serta secara praktis dalam upaya penegakan hukum.

Selain itu, Keputusan Menko Polhukam bertentangan dengan KUHAP, yang menentukan bahwa baik penyelidikan maupun penyidikan dilakukan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini (in casu KUHAP). Secara hierarki Keputusan Menko Polhukam dipandang telah bertentangan dengan asas “lex superior derogat legi inferiori”.

Begitupun ditinjau dari aspek materi muatannya, tidak pula mencerminkan asas keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Hal ini dapat dilihat dari masuknya para guru besar (ahli hukum) dan praktisi hukum (pengacara), selain kementerian dan instansi/lembaga pemerintah lainnya. Menurut KUHAP kedudukan ahli hukum diperlukan pada tahap penyidikan dan/atau pada saat pemberian keterangan didepan persidangan guna membuat terang suatu perkara pidana. Adapun praktisi hukum keberadaannya justru diperlukan dalam rangka memberikan bantuan hukum (membela hak-hak hukum) kepada seseorang dalam serangkaian proses peradilan pidana.

Terkait dengan perihal rekomendasi Tim Asistensi Hukum kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil kajian hukum dimaksud menunjukkan adanya inkonsistensi. Kajian hukum (legal sudies/legal reveiw) sesuai dengan penamaan dan peruntukannya lebih bersifat ilmiah (scientific), sedangkan fungsi “menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum” bersifat 4 praktis dan menjadi domain aparat penegak hukum (in casu Polri).

Kajian hukum diperlukan dalam kepentingan akademik, seperti Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan. Jadi, bukan dalam hal “turut serta” menentukan secara kolektif dapat atau tidaknya suatu ucapan dan tindakan dinilai sebagai suatu yang melanggar hukum untuk kemudian dibuatkan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.

Di sisi lain, pimpinan tinggi Aparatur penegak hukum juga termasuk dalam Tim Asistensi Hukum. Kesimpulannya, Keputusan Menko Polhukam telah melebihi batas-batas kewenangannya (ultra vires) dan timbul kekhawatiran tercipta “abuse of power”.

Preskripsi-preskripsi yang digunakan sebagai premis mayor (hukum positif), akan terlebih dahulu ditentukan premis minornya sebagai perbuatan yang melawan
hukum. Jika ini yang terjadi, maka kondisi yang demikian adalah tindakan penyalahgunaan penerapan hukum atau populer di masyarakat disebut “kriminalisasi”, disebabkan adanya penyelundupan hukum.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami meminta dengan sangat kepada Menko Polhukam untuk segera mencabut keputusan a quo demi terwujudnya “kepastian hukum yang berkeadilan” sesuai paham negara hukum dan negara demokrasi yang menjunjung tinggi “Hak Asasi Manusia” menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penulis : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Ahli Hukum Pidana – Direktur HRS Center

Kontributor : Faul Lana

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan