Sejarah Pahlawan Pocut Baren Sang Wanita Aceh
Pocut Baren
Pocut Baren adalah seorang pahlawan dan ulama wanita dari Aceh yang terkenal gigih melawan penjajahan Belanda. Selain menjadi panglima perang, ia pun menjadi uleebalang daerah Gome. Ia mempunyai pengikut setia yang banyak dan membantunya dalam pertempuran melawan Belanda. Menurut cerita penduduk, ia ikut bergerilya bersama-sama pasukan yang dipimpin oleh Cut Nyak Dhien. Setelah Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Belanda, Pucut Baren tetap meneruskan perjuangan menentang penjajahan Belanda. Ia menjadi panglima perang menggantikan suaminya yang meninggal dunia dalam peperangan.
Riwayat
Pocut Baren merupakan anak perempuan seorang uleebalang Teuku Cut Anmat Tungkop sebuah kemukiman di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat. Ia lahir pada tahun 1880 di Kabupaten Aceh Barat.
Setelah dewasa menikah dengan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan melewan Belanda. Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang. Setelah suaminya tewas kemudian Pocut Baren menggantikan suaminya sebagai uleebalang, Dalam berptempur Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok
Perlawanan terhadap Belanda.
Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran. Pocut Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien.
Perjuangan dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh penulis Belanda bernama Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian.
Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren. Akibat serangan gencar Belanda, Pocut Baren pernah terdesak ke pedalaman hutan dan memutuskan bermarkas di sebuah gua di Gunong Mancang.
Belanda mengalami kesulitan melacak keberadaan gua ini. Hingga suatu saat, keberadaan gua tersebut diketahui. Usaha tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu digulingkan ke bawah oleh anak buah Pocut Baren sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Pocut Baren sendiri terkena peluru di kakinya sehingga perlawanannya terpaksa berhenti. Ia lalu ditahan di Kutaraja, namun anak buahnya tetap melakukan perlawanan.
Setelah penangkapannya oleh Belanda, dia dipindahlan ke kutaraja. Kakinya yang tertembak karena tidak menerima perawatan yang cukup lalu membusuk dan harus diamputasi. Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.
Namun demikian perlawanan Pocut tidaklah berhenti sampai disitu saja. Walau ia tidak dapat berperang langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati para anak buahnya. Melalui syair dan pantun dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap kaphe Belanda.
Pantun-pantunya yang popular dan mengesankan itu masih belum dilupakan orang.
Pocut Baren wafat dan dimakamkan di kampung halamannya, Kemukiman Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat. Sebagai bentuk penghargaan pemerintah memberi nama salah satu jalan di Nanggroe Aceh dengan nama Pocut Baren.
Pocut Baren adalah wanita bangsawan dilahirkan pada tahun 1880 di Tungkop Aceh Barat. ayahnya adalah teuku Amat (ulee balang (tokoh adat) tungkop yang berpengaruh saat itu.
ayahnya sering berdiskusi dnegan ulama untuk masalah-masalah keagamaan dan ini tertanam dalam kepribadian Pocut Baren sehingga menjadi wanita yang pemberani dalam menegakkan agama sekaligus agama.
suami Pocut sendiri adalah seorang pejabat daerah yang juga menjadi Ulee Balang GUme, aceh Barat. Perjuangan Pocut dilakukan secara bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien yang rela hidup menderita dan susah.
didalam catata seorang penulis belanda mengatakan bahwa Pocut baren melakukan perlawanan mulai tahun 1903-1910. kemudia pada tahun 1910 Belanda melakukan Penyerbuan besar-besaran terhadap pertahanan Pocut Baren di GUnung Macan dibawah pimpinan Letnan Hoogers dan Pocut sendiri ditangkap kemudian dibawa ke Meulaboh.
Pocut Baren banyak menulis pantun dan syAIR DALAM BAHASA ACEH JUGA MELAYU bahkan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda dan dismpan diperpustkaan Universitas Leiden. Belanda
No Responses