banner 728x90

Pandangan Hukum Perkara Alfian Tanjung PN JAKPUS (ACR Part 2)

Pandangan Hukum Perkara Alfian Tanjung PN JAKPUS Part I disusun oleh: H. Abdul Chair Ramadlan, S.H., M.H, Ahli Hukum Pidana Aksi Bela Islam 212

Pandangan Hukum Perkara Alfian Tanjung PN JAKPUS (ACR Part I)

Uraian berikut di bawah ini merupakan hasil analisis yuridis terkait dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada Terdakwa Alfian Tanjung

Dakwaan Kesatu
Primair : Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.

Unsur : Dengan Sengaja dan Tanpa Hak
– Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) menyebutkan secara expressive verbis “dengan sengaja dan tanpa hak” sebagai unsur delik yang yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum. Penuntut Umum harus mampu membuktikan adanya “kesengajaan dan tanpa hak”.

Para ahli hukum pidana sepakat bahwa ketika rumusan kesengajaan disebut “dengan sengaja”, maka hal itu bermakna kesengajaan mengandung ketiga corak (gradasi) kesengajaan, yakni dengan kesengajaan sebagai maksud (als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).

– Menurut Eddy O.S. Hiariej, “kesengajaan sebagai maksud adalah kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud. Motivasi seseorang sangat mempengaruhi perbuatannya (affectio tua nomen imponit operio tuo).” (Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2016, hlm.172-173).

– Satochid Kartanegara memberikan keterangan terkait dengan kesengajaan sebagai maksud (tujuan) dalam dua delik formil dan delik materiil.

Pada delik formil, apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja sedang perbuatan itu memang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini, maka perbuatan itu adalah dikehendaki dan dituju. Pada delik materiil, apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja untuk menimbulkan sesuatu akibat, sedang akibat itu memang merupakan tujuan si pelaku. Juga dalam hal ini, akibat adalah dikehendaki, dan dituju. (Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa. hlm.257). Dengan demikian, seseorang dikatakan dengan sengaja (maksud), adalah adanya suatu kehendak untuk melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan oleh undang-undang dan juga terhadap akibat yang ditimbulkannya.

Khusus untuk Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 20082 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, hanya termasuk “kesengajaan dengan maksud”, tidak termasuk di sini kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis), hal ini didasarkan adanya frasa “yang ditujukan untuk menimbulkan”. Frasa tersebut menegaskan adanya kesengajaan
dengan suatu tujuan yang dikehendaki dan diketahui baik perbuatan maupun akibatnya, tidak lain adalah kesengajaan dengan maksud.

– Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) bersifat delik materil, bukan delik formil. Frasa “yang ditujukan untuk menimbulkan” menunujukkan harus adanya akibat berupa timbulnya rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan akibat penyebaran informasi yang dilakukan.

Fakta yang terungkap dipersidangan menunjukkan bahwa tidak ada akibat yang timbul dari penyebaran informasi yang dilakukan oleh Terdakwa. Tidak pernah ada (in concreto) di masyarakat timbulnya rasa kebencian atau permusuhan baik terhadap individu maupun erhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan, akibat dari pernyataan Terdakwa.

Penuntut Umum tidak dapat membuktikan timbulnya timbulnya rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan dimaksud.

– Menurut Jonkers bahwa kesalahan merupakan dasar pemidanaan atau yang menimbulkan hak untuk memidana. (Jan Remmelink Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,Jakarta : Gramedia Pustaka Utama 2014, hlm.150).

Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana, disebut sebagai bentuk kesalahan yang secara teknis disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan dapat terjadi, jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara salah. Dalam hal ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang tertuju pada suatu tindak pidana. (Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm.107).

– Penggunaan pikiran Terdakwa tidaklah termasuk dalam kualifikasi penggunaan pikiran yang salah dan kemudian mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana. Dikatakan demikian, apa yang disampaikan oleh Terdakwa berdasarkan merupakan sebagai wujud kepeduliannya dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia dari adanya ancaman – indikasi kuat – kebangkitan ideologi komunisme, serta dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

– Kemudian, unsur “tanpa hak” juga harus dibuktikan oleh Penuntut Umum, apakah benar telah terjadi perbuatan sebagaimana didakwakan dilakukan dengan “tanpa hak”?

Fakta dipersidangan juga menunjukkan bahwa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan unsur “tanpa hak” dilakukan oleh Terdakwa. Unsur “tanpa hak” merupakan salah satu bentuk melawan hukum. Pada prinsipnya melawan hukum menjadi unsur mutlak dalam perbuatan pidana jika secara eksplisit disebut dalam rumusan delik. Oleh karena Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) menyebutkan secara expressive verbis “tanpa hak” sebagai unsur delik, maka Penuntut Umum berkewajiban membuktikan telah terjadi perbuatan menyebarkan informasi sebagaimana didakwakan yang dilakukan tanpa hak.

– Frasa “tanpa hak” menunjuk pada suatu informasi yang didapatkan secara tidak sah atau illegal. Berdasarkan fakta yang terungkap di sidang pengadilan, informasi yang didapatkan dan kemudian disampaikan oleh Terdakwa, kesemuanya didasarkan pada informasi yang sah (bukan illegal) dan telah menjadi pemberitaan di media massa (stasiun televisi), yakni pernyataan Sdri. Ribka Tjiptaning (kader PDI-P).

– Dalam praktik peradilan, apabila melawan hukum sebagai bestandellen van het delict atau secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana, maka Penuntut Umum harus mencantumkan dan menguraikannya di dalam dakwaan dan kemudian membuktikannya di depan persidangan.

Ketidakmampuan Penuntut Umum untuk membuktikan unsur melawan hukum ini makamkonsekuensinya adalah Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Penuntut Umum (vrijspraak). Berbeda dengan kedudukan melawan hukum sebagai elementen van het delict.

Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana namun melawan hukum sebagai elementen van het delict disyaratakan harus ada dalam setiap tindak pidana. Dalam praktiknya, Penuntut Umum dalam hal ini tidak perlu mencantumkan dan menguraikannya dalam surat dakwaan dan tidak ada pula kewajiban untuk membuktikannya di depan persidangan, melainkan terdakwa-lah yang berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak bersifat melawan hukum. Ketika melawan hukum yang menjadi elementen van het delict tidak ditemui pada perbuatan yang didakwakan maka konsekuensinya Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging).

Unsur : menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

– Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) bersifat delik materil, bukan delik formil. Frasa “yang ditujukan untuk menimbulkan” menunjukkan harus adanya akibat berupa timbulnya rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan akibat penyebaran informasi yang dilakukan. Fakta yang terungkap dipersidangan menunjukkan bahwa tidak ada akibat yang timbul dari pernyataan Terdakwa.

Tidak pernah ada (in concreto) di masyarakat timbulnya rasa kebencian atau permusuhan baik terhadap individu maupun terhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan. Penuntut Umum tidak dapat membuktikan timbulnya timbulnya rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan dimaksud.

– Penerapan Pasal 28 ayat (2) harus diobyektifkan dan dikonkritkan dalam dakwaan Penuntut Umum, terhadap perbuatan manakah yang dilakukan, apakah kebencian atau permusuhan?. Kepada siapa ditujukan, individu atau kelompok atau keduanya dan berdasarkan atas suku, atau agama, atau ras, atau antargolongan?. Jika terhadap golongan yang dimaksudkan adalah suatu badan hukum (recht person) dalam hal ini PDI-P, tidaklah dapat dibenarkan. Golongan penduduk menunjuk kepada Pasal 156 KUHP sebagai genus delict, menurut doktrin golongan penduduk yang dimaksudkan berdasarkan hukum tata Negara, yang mengacu kepada ketentuan Pasal 163 jo Pasal 131 IS (Indische Staats Regeling) yang membagi penduduk di Hindia Belanda atas golongan Eropa, Bumi Putera dan Timur Asing.

– Terhadap apa yang katakan oleh Terdakwa tidaklah termasuk ujaran kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dalam hal ujaran kebencian atau permusuhan haruslah ada ungkapan rasa marah secara eksplisit. Ungkapan rasa marah itu kemudian menimbulkan rasa kebencian terhadap pihak yang dituju. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, tidak ditemui adanya ungkapan rasa marah pada diri Terdakwa, dan Penuntut Umum pun tidak menyebutkan dalam surat dakwaan dan tidak mampu membuktikannya di sidang pengadilan.

Dakwaan Subsidair : Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016

– Masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak tepat, ujaran kebencian hanya diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, tidak pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dengan norma hukum pokok Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict, yang mensyaratkan adanya pengaduan. Tegasnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. (Lihat :

Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008). Adapun yang dituju sebagai korban adalah orang (naturlijk person) bukan badan hukum (recht person). Dengan demikian dipertanyakan legal standing pelapor yang mengatasnamakan sebagai
fungsionaris partai (in casu PDI Perjuangan).-…

Bersambung, selengkapnya baca judul Pandangan Hukum Perkara Alfian Tanjung PN JAKPUS (ACR Part 3)

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan