banner 728x90

Mubes Pers Indonseia, Eggy Sudjana Yakin Demokrasi Pers Terwujud Setelah Berganti Rezim

Jakarta – Mearindo, Pada hari Selasa, 18 Desember 2018 lalu bertempat di Gedung Sasono TMII Jakarta, telah terlaksana Musyawarah Besar (Mubes) Pers Indonesia, sebuah perhelatan akbar masyarakat pers yang dihadiri 2000 an peserta dari perwakilan media massa maupun organisasi pers di Indonesia.

Mubes yang digelar dalam rangka menyatukan persepsi seluruh pers tanah air untuk membentuk Dewan Pers Indonesia yang indenpenden demi mewujudkan profesionalisme dan independen pers Indonesia sesuai amanat UU Nomor 40 tahun 1999 juga bertujuan membentuk Dewan Pers Independen

Pembentukan wadah dewan pers diluar Dewan Pers Nasional itu buntut terhadap Dewan Pers yang dinilai tak demokratis serta tak merepresentasikan penghormatan terhadap kebebasan pers itu sendiri.

Eggi Sudjana tokoh praktisi hukum dan advokad senior yang hadir dalam acara tersebut sebagai lawyer Sekber Pers Indonesia dalam orasinya memberikan pesan bahwasanya ketidak netralan wadah pers saat ini syarat kuat diduga adanya intervensi yang diakibatkan oleh rezim yang tidak baik. Sehingga untuk memimpikan dewan pers yang demokrasi dan independen salah satunya jika rezim kekuasaan otoriter berganti dengan sistem demokrasi.

Sambutan orasi Eggi Sudjana yang terlontar kalimat “Ganti Presiden” sempat menuai kritikan peserta Mubes Pers yang berpendapat kalimat itu bermuatan politik. Namun tudingan itu tidak dibenarkan Eggi Sudjana yang mengatakan maksudnya adalah “Selama kekuasaan pemerintah ini terdapat intervensi terhadap demokrasi Pers maka sulit mewujudkan Dewan Pers yang independen”.

“Media harus mandiri dan netral, jika semua bersatu maka yakinlah pers tidak akan dapat diintervensi”, Eggi Sudjana

Pandangan Eggi Sudjana itu mendapat tanggapan Sifaul Anam selaku Direktur PT Mea Rindo Nusantara, menurutnya ketidak netralan belenggu pers saat ini tidak bisa lepas dari sistem rezim yang menggunakan cara cara keji dalam memberangus kebebasan pers sesuai undang undang pers.

“Para jurnalis dan media sering jadi tumbal jika media mengangkat fakta kasus hukum yang masih ada kaitanya dengan ekosistem pemegang kekuasaan di era jokowi ini, maka jangan heran jika ada wartawan dipenjara karena tulisanya, sedangkan itu tidak dibenarkan dalam undang undang 40 tahun 1999,” kata Anam

Sementara itu menurut Dr. Ibnu Mazjah, S.H., M.H, Staf Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Mathlaul Anwar, Banten berpendapat bahwa beberapa tindakan dan kebijakan Dewan Pers, yang diketahuinya antara lain adalah ungkapan “media abal-abal” yang acap digulirkan komisioner Dewan Pers, serta fatwa – fatwa menamai media abal – abal bagi media yang tidak mau mengikuti Uji Kompetensi Wartawan.

“Penerapan standar kompetensi wartawan mengarah kepada kewajiban bagi warga negara yang menjalankan fungsi pers untuk mengikuti uji kompetensi wartawan, serta verifikasi terhadap badan hukum yang bergerak dalam bidang roda usaha (bisnis) pers. Sikap Dewan Pers tersebut dinilai melampauai kewenangannya,” ujar Ibnu Mazjah.

Selain itu Dewan Pers menurut Ibnu Mazjah acap membenturkan tindakannya dengan argumentasi untuk melindungi pers dari para penumpang gelap kemerdekaan pers. Muncul jargon ; Insan pers harus profesional, yang ukuran profesionalitasnya didasarkan pada lulus tidaknya mereka dalam pelaksanaan uji kompetensi wartawan.

Jargon ini merangkul kuat upaya kepolisian menjerat wartawan dengan sarana hukum pidana. Disebabkan jargon itu pula, dimensi tentang masalah hukum kasus-kasus pers bukan lagi terpatri kepada norma yang bertumpu kepada isu kebebasan berpikir, kebebasan untuk berekspresi, mencari dan menyebarkan informasi bertalian dengan unsur-unsur kepentingan umum sebagaimana bagian dari perlindungan HAM.

Mubes Pers, kiranya menjadi titik anjak proses berdemokrasi bagi kalangan insan pers sekaligus upaya memecah dan mencari solusi persoalan pers yang kini berada di persimpangan jalan. (Lana)

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan