banner 728x90

IDEOLOGI TRANSNASIONAL DI ERA GLOBALISASI : PENGARUHNYA TERHADAP ASWAJA DAN NKRI

IDEOLOGI TRANSNASIONAL DI ERA GLOBALISASI : PENGARUHNYA TERHADAP ASWAJA DAN NKRI

Prof. Dr. Muhammad Baharun, S.H., M.A.**
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H, MM. ***

Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Dalam banyak definisi, terutama yang berangkat dari kaum globalis, konsep globalisasi merujuk kepada fenomena dimana batas-batas negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan.

Globalisasi yang tengah berlangsung saat ini telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan ideologi transnasional. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan konsentrasi actor nonstate sebagai perpanjangan tangan negara asal (predicate state) untuk berupaya eksis dan mendapatkan dukungan dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan ideologisnya. Di sisi lain, kebijakan nasional yang berlaku saat ini berada di bawah pengaruh negara-negara tertentu dengan segala macam bentuknya.

Ideologi transnasional dapat dibedakan menjadi dua corak, pertama yang ideologi transnasional yang berwarna (bernuansa religius transendental) dan ideologi transnasional yang tidak berwarna.

Ideologi transnasional yang berwarna maksudnya suatu ideologi yang didasarkan pengaruh aliran keagamaan tertentu sebagai pembentuk ideologi. Adapun ideologi transnasional yang tidak berwarna adalah suatu ideologi yang didasarkan atas pemikiran ekonomi dan politis belaka.

Ideologi transnasional yang berwarna dapat kita lihat pada ideologi Syiah Iran, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan al-Qaeda, sedangkan ideologi tidak berwarna menunjuk pada komunisme dan kapitalisme (neo-liberal). Letak perbedaannya keduanya dapat dilihat dari paradigma relasi hubungan antara agama dengan negara.

Pada Ideologi transnasional yang berwarna, antara agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integralistik), sedangkan pada ideologi transnasional yang tidak berwarna adalah kebalikannya, yakni memisahkan keduanya
secara absolut (sekularistik).

Ideologi transnasional – baik yang berwarna maupun yang tidak berwarna merupakan ancaman yang bersifat nir-militer atau asimetris telah menggeser paradigma Pertahanan Negara dengan menggunakan kekuatan militer (hard power) atau peperangan simetris menjadi peperangan yang bersifat asimetris yang tidak menggunakan metode serangan secara frontal, melainkan dapat melakukan serangan dengan menggunakan isu-isu ideologis, politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi informasi.

Dapat dikatakan kehadiran globalisasi juga memunculkan ancaman yang bersifat nir-militer. Semakin menguatnya ancaman nir-militer, maka hampir dapat dipastikan akan semakin melemahkan sistem Ketahanan Nasional Indonesia.

B.Pembahasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan tentang Pertahanan Negara6 untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari segala bentuk ancaman. Pertahanan Negara juga berlaku sebagai doktrin dan sistem dari Pertahanan Negara itu sendiri.

Keberadaan pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup suatu negara. Seiring dengan berlakunya pengaruh perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional, sistem pertahanan yang dianut oleh NKRI, belakangan ini banyak memperoleh ancaman-ancaman bersifat nir-militer yang dapat berpotensi terciptanya instabilitas nasional.

Ancaman nir-militer terhadap sistem pertahanan negara adalah ancaman yang berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi informasi, dan keselamatan umum.

Pada saat ini ancaman nir-militer yang berbasiskan ideologi transnasional yang berwarna (ideologi religius transnasional) telah masuk melalui penetrasi atau infiltrasi aliran keagamaan (transcendental). Ideologi religius transnasional menghendaki terjadinya perubahan revolusioner dalam rangka pencapaian tujuan cita-cita mendirikan suatu negara berdasarkan paham keagaman yang dianutnya.

Adapun ideologi transnasional yang tidak berwarna masuk dengan pendekatan ekonomi melalui berbagai bantuan keuangan atau arus modal, investasi dan penanaman modal.

Berbeda dengan ideologi religius transnasional, ideologi transnasional yang tidak berwarna ini menghendaki terjadinya saling ketergantungan (interdependence) dalam hampir seluruh dimensi kehidupan dalam hubungan antarnegara-bangsa (nation-states) dan hubungan transnasional (transnational relations).

1. Ideologi transnasional yang tidak berwarna

Ideologi neo-liberalisme dengan jargon globalisasi dan komunisme saat ini tengah berlomba dalam upaya “denasionalisasi” ekonomi melalui pembentukan produksi transnasional (transnational networks of production), perdagangan, dan keuangan.

Kampanye demokrasi yang diusung oleh negara￾negara penganut pasar bebas (barat), dengan aktor-aktornya seperti IMF, Word Bank dan WTO telah menjadi intstrumen keberlakuan kapitalis global. Kendati pun pemimpin pemerintah dipilih secara langsung oleh rakyat –sebagai perwujudan demokrasi (kedaulatan) politik – tetap saja kebijakan pemerintah nyatanya lebih banyak melayani kepentingan para pemilik modal dan korporasi global (multinasional).

Perihal kedaulatan ekonomi di era liberalisasi ekonomi saat ini semakin menjauh dari nilai-nilai yang dikandung dalam rumusan Pasal 33 UD 1945.

Seiring dengan berkembangnya paham liberalisme, marxisme juga berkembang pada abad ke-19 sebagai alternatif bagi liberalisme, dimana kaum sosialis dan komunis mendukung berbagai pendekatan Marxis sebagai alternatif bagi kapitalisme (istilah yang dibuat oleh Karl Marx). Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin, pengaruh kaum kapitalis pasar bebas, dan globalisasi menjadikan liberalisme ekonomi, yang sekarang ini dikenal dengan istilah neo-liberalisme, sebagai perspektif yang dominan sekarang ini.

Ajaran komunisme yang dibangun Karl Marx dilaksanakan oleh Lenin dan dipraktikkan di Uni Soviet (1918-1987). Komunisme bersifat revolusioner dan langkah-langkah keras dijalankan semata-mata demi tercapainya tujuan negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, hak-hak perseorangan dihapus dan ditiadakan secara paksa, tanpa memberi kesempatan warga untuk berbeda pendapat.

Konsep sosialis yang diawali dari ajaran Karl Marx, menurut L. Henkin, makna hak asasi tidak menekankan kepada hak masyarakat, tetapi justru menekankan kewajiban terhadap masyarakat. Dari ajaran tersebut, konsep sosialisme Marx bermaksud mendahulukan kesejahteraan dari pada kebebasan.

Pada saat ini, kita melihat kekuatan kapital China (Tiongkok) melalui pola guangxi (pertemanan) – dalam aspek budaya pebisnis China perantauan di Indonesia – telah menjelma menjadi actor nonstate yang memiliki energi seperti layaknya negara.

Hubungan antara etnis Tiongkok dengan negara asalnya (predicate state) sejak tahun 1949 sangat terkait dengan UUD Tiongkok. Pemerintah Tiongkok akan berusaha keras untuk melindungi hak-hak hukum dan kepentingan etnis China perantauan yang tinggal di luar negeri, termasuk di Indonesia. Pemerintah Tiongkok mendorong kaum China perantauan untuk selalu setia kepada negara leluhurnya.

Perkembangan saat ini menunjukkan keduanya, neo-liberalisme dan komunisme saling bersaing dalam ‘memenangkan pertarungan’ geopolitik. Kawasan Asia khususnya, Laut Cina Selatan menjadi pusat perebutan pengaruh antara AS dan Cina. Singapura, Filipina, dan Thailand dekat dengan Amerika Serikat. Di lain pihak, sebelum Jokowi menjadi Presiden – Cina lebih memiliki pengaruh di negara seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Cina telah membangun pengaruh di kawasan ASEAN lewat proyek pembangunan infrastruktur di negara seperti Kamboja dan Laos. Hal yang sama dilakukan di Indonesia,ketika Jokowi menjadi Presiden.

Kekuatan China di era ini jelas tidak dapat diabaikan. Barry Buzan dan Ole Waever dalam buku “Regions and Powers”, mengategorikan China sebagai great power, berada setingkat lebih rendah dari Amerika. China digolongkan demikian karena dinilai memiliki potensi ekonomi, militer, dan politik yang mampu menyaingi Amerika sebagai superpower.

Keberadaan Indonesia di kawasan Asia sangat strategis, oleh karenanya China menginginkan Indonesia berada dalam pengaruhnya. Presiden Jokowi telah menyerahkan berbagai mega proyek kepada China. Di antaranya, infrastruktur, tol, listrik, kereta cepat, dan lain-lain.

Belakangan proyek reklamasi pun ditengarai juga berdasarkan himpitan utang tersebut. Semua mega proyek tersebut merupakan bemper untuk menahan bangkrutnya China, tegasnya China akan menguasai tanah, infrastruktur dan properti di Indonesia. Pembangunan infrastruktur adalah sebagai bagian dari skenario mendukung pencapaian kepentingan China lewat darat yang terkenal dengan istilah “Jalur Sutera” (The Great Silk Road)

2. Ideologi transnasional yang berwarna

Pada Ideologi transnasional yang berwarna ini memiliki corak yang berbeda dengan ideologi transnasional yang tidak berwarna, ideologi ini lebih menekankan pada landasan teologis sebagai dasar pembentuk ideologinya. Oleh karena itu, pendekatan keagamaan menjadi basis yang sangat fundamental dalam upaya ekspansi ideologinya.

Aksi teroris yang terjadi secara masif dan ofensif sangat terkait dengan perkembangan paham paham radikal yang seringkali mengatasnamakan ajaran agama Islam dengan mengeksploitasi ajaran “jihad” sedemikian rupa demi mengabsahkan atau menjustifikasi tindakan mereka. Padahal ajaran Islam tidak pernah mengajarkan terorisme. Islam adalah agama yang “rahmatan lil alamin”, mengedepankan kemashlahatan dan bahkan mengajarkan umatnya untuk tunduk dan patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri (pemimpin) di antara mereka.

Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa sikap radikal berbeda dengan spirit yang diajarkan oleh ajaran Islam. Salah satu penyebab munculnya radikalisme agama adalah pemahaman tentang ajaran agama yang sempit. Hal itu dapat tejadi ketika informasi yang diperoleh oleh seseorang atau sekelompok orang berasal dari sumber-sumber yang keliru.

Paham radikal yang menyimpang – seperti pada gerakan ISIS – menunjukkan pula adanya paham takfiriyah, yakni pengkafiran dan pemurtadan terhadap orang Islam yang tidak sejalan dengan mereka, disertai dengan justifikasi untuk merampas harta benda mereka dan menghalalkan pembunuhan atas mereka.

Adapun kaumfundamentalisme radikal al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden berusaha merekonstruksi ulang ideologi politik fundamentalisme kaum modernis. Walaupun pada awalnya Indonesia tidak menjadi target utama dalam proyek. Namun di Indonesia, setidaknya al-Qaeda terlibat dalam beberapa hal, seperti
keterlibatan proyek peledakan di berbagai tempat seperti: Bom Bali I (12 Oktober 2002), Hotel Mariot (5 Agustus 2003), Bom Bali II (1 Oktober 2005), Bom Marriot Ritz Carlton (17 Juli 2009) dan kasus peledakan yang lain.

Bahkan kehadiran al-Qaeda di Indonesia membawa misi untuk melakukan kegiatan pembangunan kamp pelatihan, bertindak sebagai pengumpul informasi dan propaganda, menjadikan Indonesia sebagai tempat persembunyian dari kejaran intelejen Amerika Serikat dan keterlibatan al-Qaeda dalam konflik lokal.

Khusus Syiah Iran, memiliki daya jangkau (eskpansi) yang lebih unggul ketimbang ISIS dan al-Qaeda. Iran merupan suatu negara yang berdaulat dan memiliki kelebihan geopolitik dibandingkan dengan ISIS dan al-Qaeda. ISIS dan al-Qaeda telah mendapatkan predikat organisasi teroris oleh PBB.

Syiah Iran demikian berkembang dengan pendekatan keagamaan (religious). Penguatan ekspansi ideologi transnasional Syiah Iran bermula ketika berhasilnya Revolusi Iran25 tahun 1979. Dengan keterlibatan para mullah (ulama Syiah) dalam gerakan revolusioner tersebut telah mampu menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa di Iran semenjak tahun 1925.

Berdirinya revolusi itu memunculkan kebangkitan Syiah, yang dahulunya lebih menekankan pada aspek quetisme, kini hadir dalam bentuk yang progresif dalam bentuk ideologi yang revolusioner.

Salah satu keyakinan pokok kelompok ini yaitudoktrin imamah. Sesuai dengan namanya “Imamiyyah Itsna Asyariyah” meyakini keberadaan Dua Belas Imam yang ma’shum dan telah ditetapkan berdasarkan nash (teks) dan wasiat (testament) Rasulullah SAW.

Menurut sejarahnya paham imamah telah menimbulkan perpecahan di internal ulama Syiah sendiri. Namun, dengan berdirinya Revolusi Iran tahun 1979, perpecahan itu berhasil diintegrasikan oleh Khomeini dengan serangkaian rekayasa sistematis dan struktural. Integrasi itu dapat dimengerti mengingat sejarah, kultur, dan bahasa masyarakat Iran adalah Syiah, sehingga solusinya adalah merekonstruksi Syiah menjadi ideologi revolusioner progresif.

Dalam perjalanannya, revolusi itu juga telah membawa Iran melakukan ekspansi ideologi transnasional yang demikian masif dan ofensifnya. Dengan lain perkataan, Revolusi Iran telah merubah Syiah yang pada awal mulanya hanya hidup sebagai kultur di tengah masyarakat (cultural shi’ism) atau hanya disebarkan dalam kalangan keluarga dan komunitas yang sangat terbatas menjadi Syiah yang terlembagakan sebagai sebuah institusi (institutional shi’ism) dengan seperangkat pemikiran teologis dan politisnya (theological and political framework).

Revolusi itu juga mengandung agenda politik untuk kepentingan Syiah Iran baik untuk masa sekarang maupun untuk masa depan, yakni menunggu kehadiran Imam Mahdi as – dalam masa ghaib kubro – yang diklaim sebagai Imam Kedua Belas.

Revolusi Iran juga menjadi starting point dan pembuka gerbang pertumbuhan dan perkembangan paham ideologi-keagamaan Syiah Iran yang telah merambah ke berbagai negara, mulai dari Timur Tengah hingga ke Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Indonesia. Ekspor revolusi tersebut telah menimbulkan kekhawatiran beberapa negara, khususnya Negara-negara di Timur Tengah yang menganut Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah.

Kekhawatiran itu dapat dimaklumi, mengingat revolusi yang dikembangkan oleh Khomeini sangat terkait dengan ideologi Syiah Iran yang menganut paham imamah yang sangat bertentangan – dalam ranah akidah–dengan keyakinan kaum Sunni.

Seperti halnya revolusi-revolusi besar lain dalam sejarah, Revolusi Iran juga memiliki daya sentrifugal yang menjangkau seluruh dunia muslim. Pemerintahan baru Iran mengeluarkan kebijakan ekspor revolusi. Karena itu, Khomeini kemudian dengan menyakinkan mengatakan: “…Aku mau ekspor revolusi ke luar!” Seiring dengan itu, Iran telah membentuk berbagai jaringan kelembagaan secara internasional, baik bersifat keagamaan, kebudayaan, pendidikan dan politik.

Penyebaran dakwah Syiah (Syiahisasi) yang demikian menguat di Indonesia dihadapmukakan dengan reaksi keras dari kaum Sunni sebagai mayoritas.

Reaksi ini bergerak sepanjang garis kontinum (along the continuum line) yang memiliki dua kutub ekstrem (two exteme poles). Penolakan kaum Sunni atas Syiah didasarkan dari perbedaan mencolok dalam menyikapi penerus (suksesor) Nabi Muhammad SAW yang diklaim Syiah adalah hak mutlak Ali bin Abi Thalib ra – dan kesebelas keturannya – sebagai penerus nubuwwah.

Bersumber dari esensi suksesi setelah kenabian inilah yang menjadi sumber ketegangan Sunni dan Syiah sepanjang masa. Perbedaan tajam ini pernah dilukiskan oleh Syu’bah Asa (penerjemah Kitab Hadits Bukhari) lebih jauh ketimbang perbedaan antara Katolik dan Protestan.

Langgengnya pertentangan antara Sunni dengan Syiah, juga menjadi salah satu penghalang bagi terwujudnya upaya taqrib (pendekatan) antara keduanya. Seiring dengan itu, berbagai penolakan yang terjadi di berbagai daerah atas dakwah Syiah Iran telah menimbulkan banyak korban, baik harta maupun jiwa. Faktor utama yang menyulut konflik horizontal antara Sunni dengan Syiah tidak lain adalah bersumber dari doktrin imamah itu sendiri, yang demikian kuat merasuk dalam diri penganut Syiah.

Resultan dari imamah melahirkan takfirush ummahatul mukminin – shahabah (mengkafirkan isteri dan sahabat Nabi SAW) dan tahriful Qur’an (mendistorsi al￾Qur’an). Kedua hal inilah yang menjadi faktor elementer terjadinya konflik horisontal antara Sunni dan Syiah.

Konflik horisontal yang terjadi antara kaum Sunni dengan Syiah memerlukan jaminan stabilitas dan ketertiban oleh lembaga penegak hukum.

Kepentingan agama juga perlu memperoleh jaminan perlindungan hukum, sehingga tidak dilakukan perbuatan-perbuatan yang menyerang atau merugikannya. Kebijakan penanggulangannya juga perlu menyesuaikan dengan perkembangan tipe kejahatan. Untuk kepentingan ini, maka politik penegakan hukum sangat berperan dalam membentuk politik kriminal.

Permasalahan pokok yang perlu mendapatkan perhatian adalah menyangkut difungsikannya hukum pidana dalam pengaturan perlindungan ajaran pokok agama dari penyimpangan dan/atau penyalahgunaan agama.

Selanjutnya, doktrin imamah perlu diwaspadai oleh pemerintah, mengingat Iran telah mengembangkan kelembagaan fuqaha (Marja al-Taqlid) di berbagai negara sebagai “perpanjangan tangan” Wilayat al-Faqih yang demikian sentralistik.

Keberlakuan Marja al-Taqlid yang bermuara kepada Wilayat al-Faqih menunjukkan adanya intervensi dari Waly al-Faqih. Contoh aktual adalah sebagaimana yang terjadi di Lebanon dengan menguatnya gerakan Hizbullah.

Sejak kemunculan Hizbullah hingga sekarang, fungsi Waly al-Faqih senantiasa tidak terpisahkan sari ideologinya. Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga Wilayat al-Faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad.

Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihad dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya. Selain Hizbullah, suku Houthi Yaman yang dahulunya menganut paham Zaidiyyah, kini telah tereksodus menjadi pengikut Syiah Iran.

Gerakan pemberontakan Houthi terhadap pemerintah Yaman tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan Iran. Dukungan Iran kepada pemerintahan (rezim) Bashar Asad juga semakin menunjukkan adanya kepentingan Iran atas Suria dalam hal geopolitik di Timur Tengah.

Sejatinya jika kita meneliti suatu gerakan ideologi-religius transnasional yang hendak diekspansi ke suatu negara, maka kita harus mengacu kepada sistem politik, sistem hukum, geopolitik dan geostrategi yang mempengaruhinya, selain pendekatan sejarah (historical approach) dan keagamaan (teologi). Dengan demikian, maka akan diketahui apa dan bagaimana sebenarnya suatu ajaran itu berpotensi mengancam eksistensi suatu negara yang berdaulat, dalam hal ini keutuhan dan kedaulatan NKRI.

Perlu disampaikan bahwa tidak ada suatu negara di dunia ini yang mampu melahirkan ideologi yang bersumber dari ajaran agama yang menyimpang. Tidak pula ada suatu negara yang berhasil melakukan ekspansi ideologi politik dan ajaran keagamaan secara bersamaan ke berbagai negara. Hanya satu-satunya negara yang berhasil melakukan itu, yakni Iran.

Ekspansi ideologi Syiah Iran ini sangat menggantungkan dari kesetiaan para penganut ajaran Syiah. Melalui penguatan ritual religius dan ritual politik Iran telah mampu membentuk pemahaman seseorang sampai ke tahap penganut Syiah ideologi. Tipe Syiah ideologi inilah yang sulit beradaptasi dengan ke-Bhineka-an Indonesia.

Syiah Iran, menganggap bahwa imamah adalah sebuah keniscayaan dalam menegakkan kekuasaan dan pemerintahan yang mutlak dan tidak bisa tergantikan dengan konsep politik apapun. Dalam fundamentalisme Syiah Iran, syariat Islam merupakan kehendak Tuhan.

Untuk itu mereka terlebih dulu harus mengimani konsep bahwa kepemimpinan kolektif secara politik di bawah Imam merupakan satu perwujudan kedaulatan Tuhan juga. Segala bentuk yang menyimpang dari idealisme Syiah pasti akan dilawan dalam bentuknya yang paling pasif (taqiyyah) sampai bentuknya yang paling aktif (revolusi).

Dalam buku panduan MUI Pusat “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Ajaran Syi’ah di Indonesia”, disebutkan adanya indikasi menjadikan Negara Syi’ah di Indonesia. Cita-cita dan tujuan Revolusi Iran termanifestasikan dalam berbagai gerakan Syi’ah di Indonesia.

C. Epilog

Dapat disimpulkan bahwa kedua corak ideologi transnasional, baik yang berwarna maupun yang tidak berwarna merupakan ancaman nyata terhadap keutuhan dan kedaulatan NKRI.

Ideologi ISIS, al-Qaeda dan Syiah Iran, kesemuanya menginginkan terjadinya eksodus keyakinan dari kaum Ahlus-Sunnah wal Jamaah menjadi pengikut paham keagamaan yang dianut oleh masing-masing ideologi tersebut.

Kemudian, masing-masingnya berupaya untuk menjadikan suatu negara di bawah kekuasaannya masing-masing. Adapun ideologi neo-liberal dan komunisme, keduanya saat ini tengah bertarung memperebutkan Center of Gravity, yakni untuk menguasai Indonesia.

Keduanya memiliki agenda yang sama yakni menutup kesempatan Indonseia untuk bangkit kembali dari keterpurukan ekonomi dan sekaligus menghancurkan tatanan pemerintahan, sosial dan ideologi politik. Ada dugaan kuat, bahwa telah terjadi kesepakatan membelah Indonesia menjadi dua oleh China dan AS. China di wilayah barat, sedangkan AS di wilayah Timur, sebagaimana dikatakan oleh mantan petinggi TNI.

Pada era sekarang Keamanan Nasional tidak hanya tertuju pada segi militer dan pertahanan semata, melainkan memiliki bentuk yang lebih global, termasuk adanya pengaruh ideologi transnasional, dengan berbagai coraknya.

Keamanan Nasional di Indonesia tentunya perlu diatur di Indonesia, supaya kestabilan dalam segala aspek itu terjamin. Kehidupan keagamaan yang normal serta terjaminnya tertib hukum (rule of law) merupakan conditio sine quanon. Keamanan Nasional yang optimal akan mendukung terwujudnya sistem Ketahanan Nasional yang tangguh.

Namun, kenyataan yang terjadi menunjukkan, peraturan perundang-undangan di bidang pertahanan dan keamanan negara belum mampu mengantisipasi dan menanggulangi masuk dan berkembangnya ideologi transnasional yang merupakan salah satu ancaman nir-militer. Dengan kata lain terjadi diskongruensi antara das solen dan das sein. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur lebih lanjut tentang fungsi antisipatif dan reaktif atas masuk dan berkembangnya ideologi transnasional.

banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan